Perempuan

Read More

PUISI Gerakan

Read More

PUISI Persahabatan

Read More

PUISI Cinta

Read More

RUU KKG VII

Sebelumnya


Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Ayat (1)
Data terpilah dapat berupa data kuantitatif atau data  kualitatif. Contoh data terpilah antara lain data yang menggambarkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Informasi dan pengetahuan yang mendukung pengenalan dan pemahaman kesetaraan dan keadilan gender diberikan sejak usia dini.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Pemberian dukungan finansial antara lain melalui corporate social responsibilty.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Read More

RUU KKG VI

Sebelumnya



PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER

1.      I.        UMUM
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa tujuan bernegara adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh karena itu,  setiap warga negara, baik perempuan dan laki-laki tanpa kecuali mempunyai tanggung jawab yang sama untuk melaksanakan tujuan tersebut. Salah satu bentuk tanggung jawab tersebut adalah dengan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Untuk itu, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah menjamin persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Implementasi dari ketentuan tersebut terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia  (UU HAM), yang secara khusus mengatur mengenai hak perempuan.
Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.  Bersama 188 negara lainnya, Indonesia juga telah menyepakati Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing atau Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA) yang merupakan hasil Konperensi Perempuan se-Dunia ke IV di Beijing tahun 1995. Komitmen untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender juga tercantum dalam Tujuan Pembangunan Abad Milenium/ Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan oleh PBB dalam Millenium Summit yang diselenggarakan pada bulan September 2000.
Walaupun secara normatif UUD 1945 telah menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara, baik perempuan maupun laki-laki dan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perempuan, namun sampai saat ini perempuan masih mengalami diskriminasi hampir di segala bidang kehidupan. Akibat perlakuan yang diskriminatif, perempuan belum memperoleh manfaat yang optimal dalam menikmati hasil pembangunan. Perempuan sebagai bagian dari proses pembangunan nasional, yaitu sebagai pelaku sekaligus pemanfaat hasil pembangunan, masih belum dapat memperoleh akses, berpartisipasi, dan memperoleh manfaat yang setara dengan laki-laki, terutama dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan pembangunan di semua bidang dan semua tingkatan.
Oleh karena itu kualitas hidup perempuan perlu ditingkatkan, salah satunya melalui pengarusutamaan gender dalam setiap tahap pembangunan, termasuk dalam proses perencanaan dan perumusan kebijakan. Hal ini sangat diperlukan agar kepentingan perempuan dan laki-laki dapat tertampung secara seimbang sehingga pada akhirnya perempuan dan laki-laki dapat menikmati hasil pembangunan secara berimbang.
Di Indonesia, pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam setiap aspek kehidupan ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Sebagai tindak lanjut, dikeluarkan Kepmendagri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah yang kemudian diperbaharui dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 2008.
Mengingat hingga saat ini upaya pengarusutamaan gender dalam pembangunan masih menunjukkan kemajuan yang sangat lambat, dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional sebagai dasar hukum implementasi pengarusutamaan gender tidak terdapat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, maka diperlukan sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai pengarusutamaan gender.
Dalam undang-undang ini, pengarusutamaan gender sebagai sebuah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu diimplementasikan dalam setiap tahap pembangunan yang meliputi perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, implementasi pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Termasuk di dalamnya adalah ketentuan yang mengatur mengenai anggaran yang responsif gender.
Dalam penyelenggaraan pengarusutamaan gender, pembiayaan merupakan salah satu unsur yang penting. Pembiayaan penyelenggaraan pengarusutamaan gender menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Secara nasional, pembiayaan penyelenggaraan PUG diakomodasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun di tingkat daerah pembiayaan pengarusutamaan gender diakomodasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Unsur lain yang penting dalam penyelenggaraaan pengarusutamaan gender adalah data terpilah. Dalam penyelenggaraan pengarusutamaan gender, data terpilah merupakan prasyarat bagi pembuat keputusan dalam merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. Selain itu, undang-undang ini juga mengamanatkan pembentukan Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) dan   Focal Point Pengarusutamaan Gender untuk menjamin agar pengarusutamaan gender dapat dilaksanakan secara maksimal.


1.      II.      PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah penyelenggaraan pengarusutamaan gender mencerminkan perlindungan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara secara proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas persamaan substantif” adalah bahwa setiap kebijakan, sikap dan langkah-tindak dalam segala bidang kehidupan harus bertujuan memenuhi hak asasi manusia, merealisasi  pemenuhan kebutuhan hidup dan aspirasi yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, yang disebabkan karena kodrat yang berbeda.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas non-diskriminasi” adalah bahwa setiap kebijakan, sikap dan langkah-tindak dalam segala bidang kehidupan harus mencerminkan pengakuan, penghormatan dan pemajuan hak asasi manusia serta kesetaraan gender yang adil.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah penyelenggaraan pengarusutamaan gender memberikan manfaat yang sama bagi laki-laki dan perempuan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah penyelenggaraan pengarusutamaan gender memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas transparansi dan akuntabilitas” adalah penyelenggaraan pengarusutamaan gender dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tindakan khusus sementara” (affirmative action) adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam berbagai institusi dan okupasi.
Tindakan khusus sementara dimaksudkan agar setiap orang mendapatkan kemudahan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan hak dan keadilan. Tindakan ini dapat diberhentikan apabila tujuan yang dimaksud telah dicapai. Salah satu bentuk tindakan khusus sementara yaitu pemberian kuota dalam jumlah tertentu bagi perempuan.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan lembaga perkreditan.
Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Bentuk kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak ada warga negara Indonesia yang tidak berkewarganegaraan (stateless).

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “mengintegrasikan” adalah tidak memisahkan anggaran responsif gender diluar seluruh anggaran kementerian atau lembaga.

Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan metode Gender Analysis Pathway (Alur Kerja Analisis Gender) adalah salah satu pendekatan analisis gender yang terdiri dari 3 langkah utama, yaitu: analisis kebijakan responsif gender, perumusan kebijakan responsif gender, dan rencana aksi yang responsif gender.

Yang dimaksud dengan Problem Based Approach adalah salah satu pendekatan analisis gender terhadap kebijakan pembangunan dan proses penganggaran yang meliputi tahap: analisis masalah gender, pemeriksaan kebijakan, formulasi kebijakan, penyusunan rencana aksi dan kegiatan intervensi serta monitoring dan evaluasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Fungsi fasilitator antara lain memberikan bimbingan teknis sehingga perencanaan program dan kegiatan yang diajukan dari setiap lembaga negara, instansi, atau unit tersusun secara sistematis.
Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.


Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Fungsi fasilitator antara lain memberikan bimbingan teknis sehingga perencanaan program dan kegiatan yang diajukan dari setiap lembaga negara, instansi, atau unit tersusun secara sistematis.

Pasal 28
Yang dimaksud dengan “berperan aktif” adalah ikut terlibat secara langsung agar proses perencanaan PUG ditingkat daerah dapat berjalan secara efektif.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Huruf a
Bentuk dan media promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.


Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bentuk dan media promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Huruf a
Bentuk dan media promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.

Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bentuk dan media promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Huruf a
Bentuk dan media promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.

Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bentuk dan media promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Pembiayaan dari pihak lain merupakan pembiayaan yang berasal dari pihak di luar Pemerintah, antara lain yang diberikan melalui hibah atau sumbangan yang tidak memiliki konsekuensi timbal balik bagi yang memberikan hibah atau sumbangan tersebut.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Berikutnya Penjelasan Pasal 50 - Selesai

Read More

FB Comment

 

©2009CATATAN KECILKU | by TNB