Senin, 01 Juli 2013
Cerpen - SUBUH - Bag. II
Awal tahun 2013 masih terasa. Tiga hari yang lalu, mungkin bintang
– bintang kesal menyaksikan kejadian rutin tahunan itu. Merasa tersaingi dengan
kilatan cahaya kembang api yang memenuhi langit. Malam itu terasa panjang sebab
ada kesendirian yang membawaku menonton pesta dunia itu. Tapi syukur ada matic
biruku yang bisa membawaku patroli.
Pagi ini masih sunyi. Kususuri koridor gedung fakultas yang catnya
mulai pudar. Wangi segar rumput yang basah tercium di inderaku. Nampaknya,
mereka telah berpesta dengan hujan semalam. Tapi tetap saja, warna hijaunya
belum mampu mengalahkan warna kubah mesjid kampus yang kemarin baru selesai
dicat.
Pintu ruang kelas yang berjajar nampak sudah terbuka. Kulirik
alroji tuaku, pukul 7 lebih 10 menit. Tiga puluh lima menit lagi. Kuputar
gagang pintu sebuah ruangan dan kutarik perlahan. Ruangan kosong yang akan
kugunakan beberapa saat lagi.
“Mbak, mau pakai ruangan itu ya..? Cari kelas lain saja ya… soalnya
kelasnya belum dibersihkan. Masih berantakan, Mbak.” suara lelaki yang kukenal
mengejutkanku dari arah belakang.
“Oh, iya, Pak. Tidak apa-apa. Kelas mana lagi yang bisa saya pakai,
Pak?.”
“Hmm.. Mbak ini dosen baru ya ? di kelas yang ujung sana saja Mbak.
Mekipun lebih kecil, tapi udah bersih dan ada juga kok, AC-nya.” Tuturnya
kemudian meminta tabik.
Lelaki itu pergi, namun sebelumnya ia mengunci kelas kosong itu. Sekilas
kuperhatikan, ruangan itu nampak lain. Terasa aneh. Ada bau aneh persis seperti
saat kulewati jalanan depan pertamina di malam tahun baru itu. Tepatnya sebelum
subuh. Wajah penjaga fakultas itu pun tampak seperti kain luntur yang belum
disetrika.
Kutinggalkan tempat itu setelah melemparkan senyum pada lelaki
paruh baya itu. Langkahku kupercepat menuju perpustakaan. Kuingat bahan kuliah
hari ini belum kelar kusiapkan. Di perpustakaan kutemui wajah manis yang tak begitu
asing di mataku. Gadis berkacamata dengan rambut pirangnya yang selalu terurai.
Tangannya memegang sebuah Koran yang agak lusuh.
“Selamat pagi. Sedang apa ?” sapaku padanya yang tersenyum melihat
kedatanganku.
“Pagi, Bu. Sedang baca koran. Ada berita kurang sedap di depan pertamina jalan semangka.” Jawabnya
“Oh. Berita apa ? beberapa malam lalu saya lewat jalan itu.”
“Itu, Bu. Ditemukan seorang pemuda tewas di pinggir jalan. Ada yang
bilang ia di bunuh. Oh ya, Bu. Saya
dengar ada mahasiswa di sini yang meninggal tadi subuh.”ceritanya pelan.
“Wah ! saya belum dengar kabar itu. Dari mana kamu tahu ? siapa
namanya ?” tanyaku mulai penasaran.
“Saya belum tahu, Bu. Itu hanya saya dengar sekilas saat Pak Dekan
bercerita pada Pak Kajur.”
Perasaanku jadi tak tenang. Mungkin ada hubungannya dengan kelas
yang aneh tadi. Kucoba menghubungi Immank, namun tak ada yang menjawab
ponselnya. Aku coba menenangkan perasaanku, tapi tak bisa. Kembali kulihat
alrojiku. Sudah hampir waktu kelas.
Kutinggalkan perpustakaan dan gadis itu tanpa pamit. Koridor
fakultas yang tadi masih sunyi seketika menjadi ramai. Mading. Objek kerumunan
mahasiswa saat ini. Entah apa yang mereka lihat. Beberapa orang nampak
mengintip ke dalam ruangan yang dikunci oleh penjaga yang kutemui tadi.
Atas rasa penasaran dan perasaan yang tak karuan, kuputuskan menyerobot
kerumunan itu. Mataku langsung terpaku pada tulisan yang terpampang di benda
mati itu.
“Astagfirullah… Innalillahi wa Inna’ilaihi Ra..jiun..”
Sekujur tubuhku terasa kelu. Sedang bibirku mulai kaku. Sekejap
terasa ada batu besar yang menghantam kepaku. Tubuhku menggelepar ke lantai.
Entah apa yang terjadi kemudian.
***
Kepala ini masih sejajar dengan lantai. Bersama pikiran yang kacau
diiringi ucapan-ucapan lirih dari bibir yang bergetar. Setiap sebuah nama
tersebut, dada ini menjadi sesak. Diantara dinding yang serba putih, bersama
pelupuk mataku yang menebal, rasa tak percaya, sesal ataupun kesal bercampur
aduk menjadi satu. Menjadi seperti kotoran yang berkarat di dalam hati.
Tuhan, seberat inikah cobaan yang Engkau berikan pada ku ? Haruskah
jalan ini yang Aku lewati dalam hidupku ?
Saat itu, seseorang yang dengan tubuh yang rasanya begitu dekat di
ingatan, mendekapku dari belakang. Ku tatap wajah sosok itu. Wajah Immank
benar-benar ada padanya. Aku kembali tersedu. Bahkan lebih keras saat kusadari
apa yang kuimajinasikan ini salah.
“Sabarlah, Sayank.” Ucapnya dengan suara parau.
Kupeluk erat ia. Semakin keras tangisanku. Mungkin meraung seperti
orang yang kesurupan jin di pergantian malam.
“Bu, kenapa ini yang harus Fi alami, Bu ? Kenapa ? bahkan belum
cukup dua hari ku ucapkan salam untuknya, Kenapa, Bu ? Kenapa ?”
Tubuhku kembali melemas. Meskipun telinga ini masih mampu mendengar
suara tangisan perempuan yang memelukku erat itu, kelopak mataku tak sanggup
kubuka.
“Nak Irga, tolong jaga Alfi sebentar, ya. Sebentar lagi ayahnya
akan sampai”
“Baik, Tante. Tante yang tegar, ya. Oh ya, pelakunya sudah mengaku
dan polisi sudah meringkuk Pak Rektor selepas Isya tadi. Tante yang sabar ya”
Ya Allah… Harus secepat inikah Kau ambil ia kembali ?
Suratan telah
ditentukan. Semua berasal dari Allah, maka suatu saat akan kembali pada Allah.
Tak pernah tahu kapan waktu itu akan tiba. Hanya manusia yang mengerti yang
akan selalu memikirkannya.
***
Ponselku masih tergeletak di atas lantai yang terasa semakin
dingin. Aku hanya termangu menatap pesan yang terpampang pada layarnya yang
masih satu warna.
‘Turut berduka cita, atas meninggalnya saudara dan kawan kita
Firman Abdillah, kemarin subuh. Semoga ia ditempatkan di tempat terindah, sisi
Allah, dan diberikan ketabahan bagi keluarganya. Amin. Indar’
Maafkan Kakak, Immank.
0 komentar:
Posting Komentar