Udara dingin dan bau tanah basah menambah makna sakral basuhan air
di ubun-ubun. Entah ada berapa mata yang masih terjaga saat ini. Dengan
berbagai kilah yang berbeda. Kuantar sujudku dengan kalimat-kalimat Tuhan di
sepertiga malam. Menyadari setiap nafas adalah milik-Nya.
Sajadah merah perantaraku menyatukan jidat dengan lantai, mulai
lembab dan akhirnya basah. Entah berapa lama kepala ini sejajar dengan lantai.
Bersama pikiran yang kacau diiringi ucapan-ucapan lirih dari bibir yang
bergetar. Setiap sebuah nama tersebut, dada ini menjadi sesak.
***
Kupandangi sebuah plakat yang terpampang di dinding merah jambu
kamarku. Terlihat serasi dengan figura berwarna biru langit. Hanya saja
terlihat agak kusam. Kutiup debu-debu yang menempel padanya. Tak cukup dengan
itu, ku usap dengan tissu basah yang sejak tadi ku genggam.
Juara 1 lomba catur warga. Tanda bahwa kebahagiaan dan keharmonisan
keluarga kami telah diketahui banyak orang. Bukan satu desa atau satu
kelurahan. Karena itu lomba tingkat kabupaten. Menjadi kenangan yang tidak akan
pernah terlupakan sampai kapanpun. Tapi itu delapan tahun yang lalu. Ternyata
kebahagiaan yang kami miliki, tidak selamanya menjadi kebahagiaan bagi orang
lain. Termasuk orang terdekat kami. Malahirkan keputusan paling gila yang
pernah ada. Untaian kata – kata terpahit yang pernah ku dengar saat itu
menghantam dengan kerasnya di telingaku. Jelas bagi Ayah dan Ibu.
“In, Mama sudah bilang sama kamu dari dulu. Mama tidak suka sama Abi
dan tidak akan pernah suka.”
“Ma. Ini sudah 13 tahun, Ma. Alfiah dan Immank sudah besar. Dan…”
“Ya justru karena mereka sudah besar. Mereka sudah mulai faham dan
psikologinya tidak akan terganggu seperti alasanmu dulu.” Sergah orang tua
berkebaya coklat selaras dengan bawahan kain batiknya itu dengan tegas. Dia Eyang.
“Ma. Ini memang halal. Tapi dibenci agama. Kami tidak ingin
melakukan ini..”
Kuintip dari balik pintu kamarku yang tebal. Perempuan yang selalu
kucium pipi dan punggung tangannya tiap pagi itu mulai menitikkan air mata.
Lelah dan selalu merasa kalah bila beradu mulut dengan orang yang telah
melahirkannya. Tubuhnya lemas terduduk di sofa hijau tua. Sedangkan sosok tegar
yang selalu mengacak-acak moncong jilbabku tiap ia merasa bangga, hanya
tertunduk diam. Sesekali terlihat ia mengutak-atik kaca matanya. Mungkin
menghapus sesuatu yang basah di ujung pelupuknya. Ayah, sabarlah.
Aku tak berani mendekat. Hanya terus mengintip dan terus menangis.
Bocah berambut ikal yang sejak tadi berdiri memandangiku, tiba-tiba memelukku
dari belakang.
“Kak, Immank takut” ucapnya
setengah berbisik.
Kupeluk erat bocah itu dengan terus mendengar ceramah Eyang pada
Ayah dan Ibu. Aku semakin terisak saat kudengar suara Eyang meninggi dan suara
tangis Ibu yang semakin jelas.
Beberapa bulan setelah kejadian itu Ayah dan Ibu terpaksa
menandatangani surat cerai di rumah sakit Eyang dirawat.
“Fi. Sini nak !!” panggil Ibu dengan suara paraunya.
“Nak. Alfi anak perempuan, Sayang. Alfi temani Ayah ya. Harus ada
yang bisa siapkan sarapan Ayah. Alfi, kan sudah pandai memasak. Biar Immank
ikut Ibu. Dia masih kecil, Sayang.” Terusnya sembari menahan isak. Sedang aku
bahkan tak berhenti menangis sejak melihat tanda tangan Ayah dan Ibu di atas
kertas laknat itu.
“Ma… tapi…”
“Tidak, Sayang. Kamu harus faham. Kita dipaksa keadaan. Lihat Eyang
! Ibu tidak kuasa melihat. Ini mungkin memang takdir. Kita harus sabar. Ini
demi kebaikan semuanya.”
Kupeluk erat tubuh yang berusaha kuat di hadapanku. Kugenggam
tangannya yang dingin basah kerena telah ia gunakan menyeka air yang mengalir
di pipiku dan pipinya sendiri. Itu terakhir kali kupeluk perempuan yang
melahirkanku. Dua bulan setelah itu, tepat setelah sholat subuh ku terima
telepon dari Ibu yang memberi kabar bahwa ia dan Immank akan ke Singapura
membawa Eyang berobat. Kemudian Aku dan Ayah harus pergi ke Tanah Papua, karena
perpindahan tugas kerja Ayah.
Semakin jauh kami terpisah. Dua bulan tiga bulan masih kami dengar
kabar mereka. Namun, setelah itu kami benar-benar putus kontak. Kabar terakhir
yang kami dengar, kondisi Eyang membaik.
***
Kudorong keluar koper hitam besar itu dari kamarku. Terlihat
resletingnya tidak rapat karena terlalu sesak dengan isi yang berjubal. Wajar
saja. Semua barang-barang hanya di isikan pada satu tempat. Koper itu. Ayah
memang tak suka membawa tentengan saat bepergian. Kecuali ranselnya.
“Ayah. Sudah Alfi pack semua bawaan Ayah. ”
“Oh, Iya. Terimakasih ya, Sayang.” Ucapnya bersamaan dengan senyum.
Kupandangi tubuh tegap lelaki yang selalu gagah di mataku itu.
Rambutnya mulai menampakkan semburat warna putih. Usia Ayah memang sudah
memasuki kepala lima. Kusadari memang banyak warisan Ayah yang diturunkannya
padaku. Mulai dari rambut, hidung, perawakan dan sifatku, memang mirip Ayah.
Hanya satu yang ia tinggalkan dan diberikan pada Firman. Mata Ayah yang agak
sipit. Sebaliknya justru Firman memiliki banyak kemiripan dengan Ibu.
Memandang mata Ayah yang sipit tajam membaca Koran di hadapannya,
mengingatkanku pada Firman. Terakhir kami berpisah, ia berumur 9 tahun, mungkin
tahun ini ia lulus SMA.
“Yah, Alfi rindu pada Ibu dan Firman. Ini sudah 4 tahun Alfi
kembali ke Kota ini dan berusaha menemukan mereka. Tapi sampai sekarang belum
ada petunjuk apa-apa tentang mereka sekarang dimana.”
“Fi…jangan..”
“Yah. Salahkah kalau Alfi menyalahkan Eyang ? ini semua salah
Eyang, Yah. Kenapa Eyang harus memaksa Ibu bercerai dengan Ayah, kalau ini
tidak memberikan kebahagiaan sama sekali buat kita ?” tanyaku memotong.
Ayah tak langsung menjawabku. Ia tatap mataku yang mulai
berkaca-kaca. Kuhapus cepat dari pipiki air yang mulai menetes. Ayah melepas
kaca matanya dan mulai membenahi posisinya.
“Alfiah, seperti apapun yang dilakukan Eyang, beliau tetap Eyangmu.
Jangan kamu menyalahkanya. Sekarang tugas kita hanya mendoakannya. Doakan ia
tenang disana dan kalau memang ia salah, semoga ia diberi maaf. Ini semua sudah
jalannya, Nak. Kita sudah berniat, berdoa dan berusaha memperbaikinya. Tinggal
kita serahkan pada Allah apa hasilnya.” Tuturnya panjang.
“Kamu jangan menyerah. Tetap berusaha. Yakin bahwa nanti kita tetap
akan dipertemukan dengan Ibu dan Immank. Kapan pun itu. Mereka pasti akan
kembali ke kota ini.”
Aku tak menjawab. Hanya mencoba merenungi perkataan Ayah dengan
hati ini masih terasa panas.
***
“Iya, Yah. Jangan lupa langsung telepon begitu Ayah sampai.
Assalamu’alaikum” kututup telepon Ayah.
Malam ini aku akan kembali sendirian seperti 2 minggu yang lalu dan
malam sebelum-sebelumnya. Ayah kembali ke Sorong karena masa cutinya telah
habis. Terkadang aku khawatir memikirkan Ayah yang hidup sendiri disana. Pernah
terpikir olehku untuk menyuruh Ayah menikah lagi. Tapi Ayah menolak.
“Ha..ha..ha.. menikah lagi ? Apa kamu punya Ibu baru ?” godanya
saat kutanyakan hal itu padanya.
“Fi. Hidup itu sekali. Menikah juga cukup sekali. Ayah tak ingin
lagi, Fi. Kamu tak usah khawatir karena Ayah hidup sendiri di Sorong. Ayah
tidak pernah hidup sendirian disana. Ada cinta Ibu kamu yang selalu menemani
Ayah.” ujarnya dengan tawa ringan menyadari dirinya yang mulai puitis.
Setelah itu, Aku benar-benar bertekat tuk menemui Ibu dan Immank
kembali. Dimanapun mereka berada. Lebih baik lagi bila Ayah dan Ibu yang memang
tak pernah berhenti saling mencintai itu kembali bersatu.
“Woii… pagi-pagi ngelamun.”
Suara dan tepukan dipundak tiba-tiba mengejutkanku. Lamunan tentang
Ayah buyar begitu saja. Gadis berambut pirang yang mengagetkan itu menarik
bangku mendekatkannya padaku. Kalau saja ia tak ingin memakai kacamatanya yang
setebal papan pengalas ujian itu, mungkin ia akan mirip dengan Emma Watson yang
berperan sebagai Hermione di Harry Potter.
“Heii… Ibu asdos. Ini hari pertama kamu ngajar maba kenapa harus
pakai muka suram begitu ? segar donk !! hmm..” cetus gadis bergaya unik itu
sambil mencubit-cubit pipinya sendiri yang memang cubby.
Ia berusaha membuatku tertawa. Kuperhatikan gayanya, terlihat
seperti Barbie hidup. Tingkahnya itu hanya kutanggapi dengan senyum.
“Ayah kuantar ke bandara tadi subuh, Ga. Aku hampir menyerah
mencari kediaman Ibu dan Immank. Mungkin gak ya, Ga, Aku menemukan mereka ?
bisa gak ya, Ayah kembali sama Ibu ?”
“Haduuuhh… pagi-pagi jadi yellow mellow galau begini. Huuh.. Eh, Alfiah
Mustika Abhimanyu anaknya Pak Abhimanyu. Di dunia ini gak ada yang gak mungkin. Takdir yang tidak bisa
diubah itu hidup, mati, rezeki dan jodoh. Kalau masalah ketemu, kalau kamu
usaha ada kemungkinan kamu akan ketemu. Dan kalau memang Ayah dengan Ibu kamu
itu jodoh ya pasti akan bersatu lagi. Tuh kan, mulai pinter sok menasehati deh
Aku.” Ucapnya panjang sambil menyisir poninya dengan jari-jarinya.
Kembali hanya kutanggapi
dengan senyuman. Kulirik Alroji tuaku, menunjukkan pukul 07.56. Sudah waktunya
mengajar pagi ini. Kutinggalkan ruang perpustakaan yang sejak tadi ku
tongkrongi bersama Irga si gadis Barbie.
Kelas pertama yang kuajar di tahun ajaran baru ini. Sejak Dr.
Mahmud mengambil gelar Profesornya di Australia, semua mata kuliahnya, ia percayakan
padaku. Meski menyenangkan tapi ini cukup melelahkan di masa harus kuselesaikan
tesisku ini.
Ruang kelas sudah penuh dengan mahasiswa. Beberapa mahasiswi tampak
menikmati pelajaran pertamanya di bangku kuliah, begitu memperhatikanku sejak
pertama kali kutapaki kelas ini. Sedangkan mahasiswa lainnya, menatapku dengan
makna yang berbeda-beda.
Kumulai mengantar perkuliahan seperti biasa. Sedang pikiranku masih
terus berkecamuk dengan ingatanku tentang 2 hari yang lalu.
Pagi itu mendung. Udara yang biasanya hangat mejadi sejuk seketika
oleh angin yang memanggil-manggil hujan untuk segera turun. Jalanan ramai dan
bahkan nyaris macet. Kutancap gas maticku melambung beberapa pengendara. Ups.
Ada pengendara yang lebih cepat dariku dan hampir saja menyenggol kaca spion
motorku. Spontan terlontar kalimat tahlil dari bibirku karena terkejut.
Sebelumnya, selepas sholat subuh, Aku tersentak oleh pesan singkat
Dr. Mahmud. Rencanaku pagi ini tuk membayar uang kuliah harus ku urungkan. Amanah
mengajar kembali ia berikan padaku. Namun, yang membuatku tak percaya, bukan
itu. Tapi, ia mengamanahkanku mengajar di kampus yang belum pernah sekali pun
ku kunjungi. Apa lagi mengajar di sana. Tantangan baru untukku. Yakin tak
yakin, aku harus pergi dan mencoba.
Sampai disana, ternyata sama sekali tidak seperti yang kubayangkan.
Mahasiswa dan dosen yang kutemui begitu ramah menerimaku. Tapi mungkin itu
bukan karena diriku. Tapi karena ada nama Dr. Mahmud di belakangku. Saat
mengajar terasa lancar, hanya saja setelah itu sampai saat ini, pikiranku
terganggu dengan satu nama yang ada di absen itu. Nama seorang mahasiswa yang
tak asing bagiku. Firman Abdillah.
Rasa penasaranku dengan mahasiswa itu menjadikanku semakin
bersemangat mendatangi kampus yang baru ku kenal itu. Dua kali Aku mengajar di
sana, belum perah ku temui laki-laki itu. Kabarnya ia sedang sakit. Kuceritakan
semua yang nyesakkan pikiranku ini pada Irga.
***
Matahari siang ini nampaknya tak bersahabat. Begitu terik dan
membekar kulit siapa saja yang tak terhalang kain. Puluhan mahasiswa terlihat
menutup jalan di depan gedung rektorat. Mereka tampaknya tak merasa gusar
dengan alam yang seperti itu. Ku baca tulisan yang tertera pada petaka – petaka
yang mereka pegang. Aku terkejut membacanya.
‘TURUNKAN REKTOR KORUP’
“Wah, kayaknya rektornya ketahuan korupsi, Fi. Kalau rektor kita
korupsi gak ya ?” kata Irga yang saat itu yang sedang bersamaku.
“Huss !! ini kampus orang. Jangan ngomong sembarangan. Bisa bahaya
Aku kalau orang di sini dengar kita cerita yang aneh-aneh” cegahku.
“Iya. Be-te-we, Fi, kamu yakin kalau anak itu adik kamu ? tapi
diakan semester 3 ? kalau adik kamu kan seharusnya mahasiswa baru sekarang
kalau dia kuliah”
“Yah, maka dari itu, kamu ku ajak ke sini untuk sama-sama
memastikannya.” jawabku mulai sebal. Terus kupandangi aksi protes mahasiswa
yang semakin memanas itu. Mataku tertegun pada satu sosok yang entah kurasa Aku
mengenalnya. Seseorang yang tengah berteriak memegang toak. Matanya seperti
nata yang kukenal.
Selang beberapa jam, Aksi protes itu berhenti. Aku dan Irga tengah
menikmati Es Jeruk segar di kantin yang dipenuhi mahasiswa mengisi perutnya
yang mungkin berteriak-teriak sejak jam pertama kuliah.
“Bu Alfiah. Ini Firman.”
Suara itu mengejutkan kami. Indar, mahasiswa yang selalu ku tanyai
tentang mahasiswa yang baru saja ia kenalkan padaku. Astagfirullah. Aku
terkejut melihat anak itu. Air jeruk yang tadinya tengah mengalir di
kerongkonganku, seperti kembali memenuhi ringga mulutku. Anak yang tadi kulihat
memimpin aksi demonstrasi di depan rektorat itu. Semakin dekat kutatap wajah
anak itu, entah kenapa hatiku mulai berdegup kencang.
“Oh, iya. Maaf. Terima kasih atas bantuannya, Indar. Dan Firman
boleh saya minta waktu kamu sebentar ? ada yang ingin saya tanyakan. Boleh ?”
Wajahnya bertanya-tanya. Namun kemudian ia mengangguk. Sedangkan
mahasiswa yang mengantarnya tadi berpamitan.
“Nama kamu Firman Abdillah ?”
“Iy..Iya.. Ibu..?” jawabnya ragu
“Saya Alfiah. Alfiah Mustika Abimanyu.”
Mendengarkanku memperkenalkan diri, tiba-tiba matanya berkaca-kaca.
Sedang jantungku yang tadinya berdetak tak menentu, tiba-tiba seperti akan
jebol keluar dari dadaku.
“Kakak…” ucapnya pelan.
“Immank….” Spontan ku rengkuh tubuh anak itu.
Tak penduli semua orang di tempat itu melihat. Saat yang selama ini
ku nantikan akhirnya tiba. Ia pun memelukku erat. Kurasakan sama seperti hari
saat kami akan dipisahkan.
Hari itu benar-benar hari yang sangat indah bagiku. Subhanallah.
Alhamdulillah. Terima kasih Ya Allah. Engkau mendengarkan doaku.
“Kak, Ibu di Jogja. Meneruskan usaha Almarhumah Eyang. Ayah dimana
?” Ujarnya setelah melepas pelukan rindunya.
“Oh ya ? Ibu sehat, Mank ? bagaimana Ibu selama ini ? Ayah di
Sorong. Ayah pindah tugas di sana. Minggu lalu ia di sini. Cuti. Ayah selalu
rindu sama kalian tapi tidak pernah tahu kalian ada dimana. Eh, kamu tinggal di
rumah Kakak ya mulai hari ini.”
***
Subuh kemarin, masih kusebut adaa’an
pada niat sholatku. Subuh ini. Saat-saat mengakhiri Desember. Saat lafadz ma’muman
menempel di bibirku. Kulekatkan pandanganku di punggungnya yang kini tak bisa
kusebut bocah seperti dulu. Lebih pantas di panggil lelaki. Ia tampak tampan.
Terlukis wajah tegar Ibu di sana.
“Kak, Nanti malam Immank harus
nginap di sekretariat. teman-teman himpunan mau LPJ. Immank harus menemani
mereka selama empat hari atau lebih.”
“Haahh ? lama sekali ? berarti Kakak
harus tahun baru sendirian donk ?” tanyaku agak kecewa.
Kulihat ia mengangguk. Tersenyum
kecut. Tapi Aku faham. Dia adalah anak yang bertanggung jawab. Seperti Ayah.
“Kak, Immank rindu pada Ayah dan Ibu.
Rasanya Immank ingin kembali ke masa kecil dulu lagi saat kita bersama” ujarnya
tiba-tiba.
Tubuhnya disandarkan pada punggungku
yang lebih kurus darinya. Matanya menerawang menembus langit-langit kamarku
yang penuh bercak. Air dari genteng yang sempat bocor seminggu yang lalu
meninggalkan polkadot coklat tak beraturan.
“Bisa tidak ya, Kak ? keluarga kita
kembali seperti dulu lagi ? kalau keluarga kita utuh lagi, kita berdosa pada
Eyang atau tidak ya ?”
“Mank. Dulu Kakak selalu menganggap
ini adalah kesalahan Eyang. Tapi karena nasehat Ayah, Kakak merasa ini memang
sudah jalan dari Allah. Kita tidak akan tahu bagaimana nikmatnya berkumpul
kalau kita tidak pernah terpisah. Dan yakinlah, pasti kita akan kembali
bersatu, ada ataupun tidak adanya Eyang” Jawabku sambil ku usap rambutnya
seperti dulu saat ia .
“Yah. Kalau memang seperti itu, kita bagi
tugas saja, Kak. Kakak yang menyatukan Ayah dan Ibu, biar Aku yang meminta izin
pada Eyang” ujarnya sembari melepas tawanya.
***
Bersambung..... ke Bag. II