Cerpen - SUBUH - Bag. II


Awal tahun 2013 masih terasa. Tiga hari yang lalu, mungkin bintang – bintang kesal menyaksikan kejadian rutin tahunan itu. Merasa tersaingi dengan kilatan cahaya kembang api yang memenuhi langit. Malam itu terasa panjang sebab ada kesendirian yang membawaku menonton pesta dunia itu. Tapi syukur ada matic biruku yang bisa membawaku patroli.
Pagi ini masih sunyi. Kususuri koridor gedung fakultas yang catnya mulai pudar. Wangi segar rumput yang basah tercium di inderaku. Nampaknya, mereka telah berpesta dengan hujan semalam. Tapi tetap saja, warna hijaunya belum mampu mengalahkan warna kubah mesjid kampus yang kemarin baru selesai dicat.
Pintu ruang kelas yang berjajar nampak sudah terbuka. Kulirik alroji tuaku, pukul 7 lebih 10 menit. Tiga puluh lima menit lagi. Kuputar gagang pintu sebuah ruangan dan kutarik perlahan. Ruangan kosong yang akan kugunakan beberapa saat lagi.
“Mbak, mau pakai ruangan itu ya..? Cari kelas lain saja ya… soalnya kelasnya belum dibersihkan. Masih berantakan, Mbak.” suara lelaki yang kukenal mengejutkanku dari arah belakang.
“Oh, iya, Pak. Tidak apa-apa. Kelas mana lagi yang bisa saya pakai, Pak?.”
“Hmm.. Mbak ini dosen baru ya ? di kelas yang ujung sana saja Mbak. Mekipun lebih kecil, tapi udah bersih dan ada juga kok, AC-nya.” Tuturnya kemudian meminta tabik.
Lelaki itu pergi, namun sebelumnya ia mengunci kelas kosong itu. Sekilas kuperhatikan, ruangan itu nampak lain. Terasa aneh. Ada bau aneh persis seperti saat kulewati jalanan depan pertamina di malam tahun baru itu. Tepatnya sebelum subuh. Wajah penjaga fakultas itu pun tampak seperti kain luntur yang belum disetrika.
Kutinggalkan tempat itu setelah melemparkan senyum pada lelaki paruh baya itu. Langkahku kupercepat menuju perpustakaan. Kuingat bahan kuliah hari ini belum kelar kusiapkan. Di perpustakaan kutemui wajah manis yang tak begitu asing di mataku. Gadis berkacamata dengan rambut pirangnya yang selalu terurai. Tangannya memegang sebuah Koran yang agak lusuh.
“Selamat pagi. Sedang apa ?” sapaku padanya yang tersenyum melihat kedatanganku.
“Pagi, Bu. Sedang baca koran. Ada berita kurang sedap  di depan pertamina jalan semangka.” Jawabnya
“Oh. Berita apa ? beberapa malam lalu saya lewat jalan itu.”
“Itu, Bu. Ditemukan seorang pemuda tewas di pinggir jalan. Ada yang bilang ia  di bunuh. Oh ya, Bu. Saya dengar ada mahasiswa di sini yang meninggal tadi subuh.”ceritanya pelan.
“Wah ! saya belum dengar kabar itu. Dari mana kamu tahu ? siapa namanya ?” tanyaku mulai penasaran.
“Saya belum tahu, Bu. Itu hanya saya dengar sekilas saat Pak Dekan bercerita pada Pak Kajur.”
Perasaanku jadi tak tenang. Mungkin ada hubungannya dengan kelas yang aneh tadi. Kucoba menghubungi Immank, namun tak ada yang menjawab ponselnya. Aku coba menenangkan perasaanku, tapi tak bisa. Kembali kulihat alrojiku. Sudah hampir waktu kelas.
Kutinggalkan perpustakaan dan gadis itu tanpa pamit. Koridor fakultas yang tadi masih sunyi seketika menjadi ramai. Mading. Objek kerumunan mahasiswa saat ini. Entah apa yang mereka lihat. Beberapa orang nampak mengintip ke dalam ruangan yang dikunci oleh penjaga yang kutemui tadi.
Atas rasa penasaran dan perasaan yang tak karuan, kuputuskan menyerobot kerumunan itu. Mataku langsung terpaku pada tulisan yang terpampang di benda mati itu.
“Astagfirullah… Innalillahi wa Inna’ilaihi Ra..jiun..”
Sekujur tubuhku terasa kelu. Sedang bibirku mulai kaku. Sekejap terasa ada batu besar yang menghantam kepaku. Tubuhku menggelepar ke lantai. Entah apa yang terjadi kemudian.
***
Kepala ini masih sejajar dengan lantai. Bersama pikiran yang kacau diiringi ucapan-ucapan lirih dari bibir yang bergetar. Setiap sebuah nama tersebut, dada ini menjadi sesak. Diantara dinding yang serba putih, bersama pelupuk mataku yang menebal, rasa tak percaya, sesal ataupun kesal bercampur aduk menjadi satu. Menjadi seperti kotoran yang berkarat di dalam hati.
Tuhan, seberat inikah cobaan yang Engkau berikan pada ku ? Haruskah jalan ini yang Aku lewati dalam hidupku ?
Saat itu, seseorang yang dengan tubuh yang rasanya begitu dekat di ingatan, mendekapku dari belakang. Ku tatap wajah sosok itu. Wajah Immank benar-benar ada padanya. Aku kembali tersedu. Bahkan lebih keras saat kusadari apa yang kuimajinasikan ini salah.
“Sabarlah, Sayank.” Ucapnya dengan suara parau.
Kupeluk erat ia. Semakin keras tangisanku. Mungkin meraung seperti orang yang kesurupan jin di pergantian malam.
“Bu, kenapa ini yang harus Fi alami, Bu ? Kenapa ? bahkan belum cukup dua hari ku ucapkan salam untuknya, Kenapa, Bu ? Kenapa ?”
Tubuhku kembali melemas. Meskipun telinga ini masih mampu mendengar suara tangisan perempuan yang memelukku erat itu, kelopak mataku tak sanggup kubuka.
“Nak Irga, tolong jaga Alfi sebentar, ya. Sebentar lagi ayahnya akan sampai”
“Baik, Tante. Tante yang tegar, ya. Oh ya, pelakunya sudah mengaku dan polisi sudah meringkuk Pak Rektor selepas Isya tadi. Tante yang sabar ya”
Ya Allah… Harus secepat inikah Kau ambil ia kembali ?
            Suratan telah ditentukan. Semua berasal dari Allah, maka suatu saat akan kembali pada Allah. Tak pernah tahu kapan waktu itu akan tiba. Hanya manusia yang mengerti yang akan selalu memikirkannya.
***
Ponselku masih tergeletak di atas lantai yang terasa semakin dingin. Aku hanya termangu menatap pesan yang terpampang pada layarnya yang masih satu warna.
‘Turut berduka cita, atas meninggalnya saudara dan kawan kita Firman Abdillah, kemarin subuh. Semoga ia ditempatkan di tempat terindah, sisi Allah, dan diberikan ketabahan bagi keluarganya. Amin. Indar’
Maafkan Kakak, Immank.

Read More

Cerpen - SUBUH



Udara dingin dan bau tanah basah menambah makna sakral basuhan air di ubun-ubun. Entah ada berapa mata yang masih terjaga saat ini. Dengan berbagai kilah yang berbeda. Kuantar sujudku dengan kalimat-kalimat Tuhan di sepertiga malam. Menyadari setiap nafas adalah milik-Nya.
Sajadah merah perantaraku menyatukan jidat dengan lantai, mulai lembab dan akhirnya basah. Entah berapa lama kepala ini sejajar dengan lantai. Bersama pikiran yang kacau diiringi ucapan-ucapan lirih dari bibir yang bergetar. Setiap sebuah nama tersebut, dada ini menjadi sesak.
***
Kupandangi sebuah plakat yang terpampang di dinding merah jambu kamarku. Terlihat serasi dengan figura berwarna biru langit. Hanya saja terlihat agak kusam. Kutiup debu-debu yang menempel padanya. Tak cukup dengan itu, ku usap dengan tissu basah yang sejak tadi ku genggam.
Juara 1 lomba catur warga. Tanda bahwa kebahagiaan dan keharmonisan keluarga kami telah diketahui banyak orang. Bukan satu desa atau satu kelurahan. Karena itu lomba tingkat kabupaten. Menjadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan sampai kapanpun. Tapi itu delapan tahun yang lalu. Ternyata kebahagiaan yang kami miliki, tidak selamanya menjadi kebahagiaan bagi orang lain. Termasuk orang terdekat kami. Malahirkan keputusan paling gila yang pernah ada. Untaian kata – kata terpahit yang pernah ku dengar saat itu menghantam dengan kerasnya di telingaku. Jelas bagi Ayah dan Ibu.
“In, Mama sudah bilang sama kamu dari dulu. Mama tidak suka sama Abi dan tidak akan pernah suka.”
“Ma. Ini sudah 13 tahun, Ma. Alfiah dan Immank sudah besar. Dan…”
“Ya justru karena mereka sudah besar. Mereka sudah mulai faham dan psikologinya tidak akan terganggu seperti alasanmu dulu.” Sergah orang tua berkebaya coklat selaras dengan bawahan kain batiknya itu dengan tegas. Dia Eyang.
“Ma. Ini memang halal. Tapi dibenci agama. Kami tidak ingin melakukan ini..”
Kuintip dari balik pintu kamarku yang tebal. Perempuan yang selalu kucium pipi dan punggung tangannya tiap pagi itu mulai menitikkan air mata. Lelah dan selalu merasa kalah bila beradu mulut dengan orang yang telah melahirkannya. Tubuhnya lemas terduduk di sofa hijau tua. Sedangkan sosok tegar yang selalu mengacak-acak moncong jilbabku tiap ia merasa bangga, hanya tertunduk diam. Sesekali terlihat ia mengutak-atik kaca matanya. Mungkin menghapus sesuatu yang basah di ujung pelupuknya. Ayah, sabarlah.
Aku tak berani mendekat. Hanya terus mengintip dan terus menangis. Bocah berambut ikal yang sejak tadi berdiri memandangiku, tiba-tiba memelukku dari belakang.
            “Kak, Immank takut” ucapnya setengah berbisik.
Kupeluk erat bocah itu dengan terus mendengar ceramah Eyang pada Ayah dan Ibu. Aku semakin terisak saat kudengar suara Eyang meninggi dan suara tangis Ibu yang semakin jelas.
Beberapa bulan setelah kejadian itu Ayah dan Ibu terpaksa menandatangani surat cerai di rumah sakit Eyang dirawat.
“Fi. Sini nak !!” panggil Ibu dengan suara paraunya.
“Nak. Alfi anak perempuan, Sayang. Alfi temani Ayah ya. Harus ada yang bisa siapkan sarapan Ayah. Alfi, kan sudah pandai memasak. Biar Immank ikut Ibu. Dia masih kecil, Sayang.” Terusnya sembari menahan isak. Sedang aku bahkan tak berhenti menangis sejak melihat tanda tangan Ayah dan Ibu di atas kertas laknat itu.
“Ma… tapi…”
“Tidak, Sayang. Kamu harus faham. Kita dipaksa keadaan. Lihat Eyang ! Ibu tidak kuasa melihat. Ini mungkin memang takdir. Kita harus sabar. Ini demi kebaikan semuanya.”
Kupeluk erat tubuh yang berusaha kuat di hadapanku. Kugenggam tangannya yang dingin basah kerena telah ia gunakan menyeka air yang mengalir di pipiku dan pipinya sendiri. Itu terakhir kali kupeluk perempuan yang melahirkanku. Dua bulan setelah itu, tepat setelah sholat subuh ku terima telepon dari Ibu yang memberi kabar bahwa ia dan Immank akan ke Singapura membawa Eyang berobat. Kemudian Aku dan Ayah harus pergi ke Tanah Papua, karena perpindahan tugas kerja Ayah.
Semakin jauh kami terpisah. Dua bulan tiga bulan masih kami dengar kabar mereka. Namun, setelah itu kami benar-benar putus kontak. Kabar terakhir yang kami dengar, kondisi Eyang membaik.
***
Kudorong keluar koper hitam besar itu dari kamarku. Terlihat resletingnya tidak rapat karena terlalu sesak dengan isi yang berjubal. Wajar saja. Semua barang-barang hanya di isikan pada satu tempat. Koper itu. Ayah memang tak suka membawa tentengan saat bepergian. Kecuali ranselnya.
“Ayah. Sudah Alfi pack semua bawaan Ayah. ”
“Oh, Iya. Terimakasih ya, Sayang.” Ucapnya bersamaan dengan senyum.
Kupandangi tubuh tegap lelaki yang selalu gagah di mataku itu. Rambutnya mulai menampakkan semburat warna putih. Usia Ayah memang sudah memasuki kepala lima. Kusadari memang banyak warisan Ayah yang diturunkannya padaku. Mulai dari rambut, hidung, perawakan dan sifatku, memang mirip Ayah. Hanya satu yang ia tinggalkan dan diberikan pada Firman. Mata Ayah yang agak sipit. Sebaliknya justru Firman memiliki banyak kemiripan dengan Ibu.
Memandang mata Ayah yang sipit tajam membaca Koran di hadapannya, mengingatkanku pada Firman. Terakhir kami berpisah, ia berumur 9 tahun, mungkin tahun ini ia lulus SMA.
“Yah, Alfi rindu pada Ibu dan Firman. Ini sudah 4 tahun Alfi kembali ke Kota ini dan berusaha menemukan mereka. Tapi sampai sekarang belum ada petunjuk apa-apa tentang mereka sekarang dimana.”
“Fi…jangan..”
“Yah. Salahkah kalau Alfi menyalahkan Eyang ? ini semua salah Eyang, Yah. Kenapa Eyang harus memaksa Ibu bercerai dengan Ayah, kalau ini tidak memberikan kebahagiaan sama sekali buat kita ?” tanyaku memotong.
Ayah tak langsung menjawabku. Ia tatap mataku yang mulai berkaca-kaca. Kuhapus cepat dari pipiki air yang mulai menetes. Ayah melepas kaca matanya dan mulai membenahi posisinya.
“Alfiah, seperti apapun yang dilakukan Eyang, beliau tetap Eyangmu. Jangan kamu menyalahkanya. Sekarang tugas kita hanya mendoakannya. Doakan ia tenang disana dan kalau memang ia salah, semoga ia diberi maaf. Ini semua sudah jalannya, Nak. Kita sudah berniat, berdoa dan berusaha memperbaikinya. Tinggal kita serahkan pada Allah apa hasilnya.” Tuturnya panjang.
“Kamu jangan menyerah. Tetap berusaha. Yakin bahwa nanti kita tetap akan dipertemukan dengan Ibu dan Immank. Kapan pun itu. Mereka pasti akan kembali ke kota ini.”
Aku tak menjawab. Hanya mencoba merenungi perkataan Ayah dengan hati ini masih terasa panas.
***
“Iya, Yah. Jangan lupa langsung telepon begitu Ayah sampai. Assalamu’alaikum” kututup telepon Ayah.
Malam ini aku akan kembali sendirian seperti 2 minggu yang lalu dan malam sebelum-sebelumnya. Ayah kembali ke Sorong karena masa cutinya telah habis. Terkadang aku khawatir memikirkan Ayah yang hidup sendiri disana. Pernah terpikir olehku untuk menyuruh Ayah menikah lagi. Tapi Ayah menolak.
“Ha..ha..ha.. menikah lagi ? Apa kamu punya Ibu baru ?” godanya saat kutanyakan hal itu padanya.
“Fi. Hidup itu sekali. Menikah juga cukup sekali. Ayah tak ingin lagi, Fi. Kamu tak usah khawatir karena Ayah hidup sendiri di Sorong. Ayah tidak pernah hidup sendirian disana. Ada cinta Ibu kamu yang selalu menemani Ayah.” ujarnya dengan tawa ringan menyadari dirinya yang mulai puitis.
Setelah itu, Aku benar-benar bertekat tuk menemui Ibu dan Immank kembali. Dimanapun mereka berada. Lebih baik lagi bila Ayah dan Ibu yang memang tak pernah berhenti saling mencintai itu kembali bersatu.
“Woii… pagi-pagi ngelamun.”
Suara dan tepukan dipundak tiba-tiba mengejutkanku. Lamunan tentang Ayah buyar begitu saja. Gadis berambut pirang yang mengagetkan itu menarik bangku mendekatkannya padaku. Kalau saja ia tak ingin memakai kacamatanya yang setebal papan pengalas ujian itu, mungkin ia akan mirip dengan Emma Watson yang berperan sebagai Hermione di Harry Potter.
“Heii… Ibu asdos. Ini hari pertama kamu ngajar maba kenapa harus pakai muka suram begitu ? segar donk !! hmm..” cetus gadis bergaya unik itu sambil mencubit-cubit pipinya sendiri yang memang cubby.
Ia berusaha membuatku tertawa. Kuperhatikan gayanya, terlihat seperti Barbie hidup. Tingkahnya itu hanya kutanggapi dengan senyum.
“Ayah kuantar ke bandara tadi subuh, Ga. Aku hampir menyerah mencari kediaman Ibu dan Immank. Mungkin gak ya, Ga, Aku menemukan mereka ? bisa gak ya, Ayah kembali sama Ibu ?”
“Haduuuhh… pagi-pagi jadi yellow mellow galau begini. Huuh.. Eh, Alfiah Mustika Abhimanyu anaknya Pak Abhimanyu. Di dunia ini gak  ada yang gak mungkin. Takdir yang tidak bisa diubah itu hidup, mati, rezeki dan jodoh. Kalau masalah ketemu, kalau kamu usaha ada kemungkinan kamu akan ketemu. Dan kalau memang Ayah dengan Ibu kamu itu jodoh ya pasti akan bersatu lagi. Tuh kan, mulai pinter sok menasehati deh Aku.” Ucapnya panjang sambil menyisir poninya dengan jari-jarinya.
 Kembali hanya kutanggapi dengan senyuman. Kulirik Alroji tuaku, menunjukkan pukul 07.56. Sudah waktunya mengajar pagi ini. Kutinggalkan ruang perpustakaan yang sejak tadi ku tongkrongi bersama Irga si gadis Barbie.
Kelas pertama yang kuajar di tahun ajaran baru ini. Sejak Dr. Mahmud mengambil gelar Profesornya di Australia, semua mata kuliahnya, ia percayakan padaku. Meski menyenangkan tapi ini cukup melelahkan di masa harus kuselesaikan tesisku ini.
Ruang kelas sudah penuh dengan mahasiswa. Beberapa mahasiswi tampak menikmati pelajaran pertamanya di bangku kuliah, begitu memperhatikanku sejak pertama kali kutapaki kelas ini. Sedangkan mahasiswa lainnya, menatapku dengan makna yang berbeda-beda.
Kumulai mengantar perkuliahan seperti biasa. Sedang pikiranku masih terus berkecamuk dengan ingatanku tentang 2 hari yang lalu.
Pagi itu mendung. Udara yang biasanya hangat mejadi sejuk seketika oleh angin yang memanggil-manggil hujan untuk segera turun. Jalanan ramai dan bahkan nyaris macet. Kutancap gas maticku melambung beberapa pengendara. Ups. Ada pengendara yang lebih cepat dariku dan hampir saja menyenggol kaca spion motorku. Spontan terlontar kalimat tahlil dari bibirku karena terkejut.
Sebelumnya, selepas sholat subuh, Aku tersentak oleh pesan singkat Dr. Mahmud. Rencanaku pagi ini tuk membayar uang kuliah harus ku urungkan. Amanah mengajar kembali ia berikan padaku. Namun, yang membuatku tak percaya, bukan itu. Tapi, ia mengamanahkanku mengajar di kampus yang belum pernah sekali pun ku kunjungi. Apa lagi mengajar di sana. Tantangan baru untukku. Yakin tak yakin, aku harus pergi dan mencoba.
Sampai disana, ternyata sama sekali tidak seperti yang kubayangkan. Mahasiswa dan dosen yang kutemui begitu ramah menerimaku. Tapi mungkin itu bukan karena diriku. Tapi karena ada nama Dr. Mahmud di belakangku. Saat mengajar terasa lancar, hanya saja setelah itu sampai saat ini, pikiranku terganggu dengan satu nama yang ada di absen itu. Nama seorang mahasiswa yang tak asing bagiku. Firman Abdillah.
Rasa penasaranku dengan mahasiswa itu menjadikanku semakin bersemangat mendatangi kampus yang baru ku kenal itu. Dua kali Aku mengajar di sana, belum perah ku temui laki-laki itu. Kabarnya ia sedang sakit. Kuceritakan semua yang nyesakkan pikiranku ini pada Irga.
***
Matahari siang ini nampaknya tak bersahabat. Begitu terik dan membekar kulit siapa saja yang tak terhalang kain. Puluhan mahasiswa terlihat menutup jalan di depan gedung rektorat. Mereka tampaknya tak merasa gusar dengan alam yang seperti itu. Ku baca tulisan yang tertera pada petaka – petaka yang mereka pegang. Aku terkejut membacanya.
‘TURUNKAN REKTOR KORUP’
“Wah, kayaknya rektornya ketahuan korupsi, Fi. Kalau rektor kita korupsi gak ya ?” kata Irga yang saat itu yang sedang bersamaku.
“Huss !! ini kampus orang. Jangan ngomong sembarangan. Bisa bahaya Aku kalau orang di sini dengar kita cerita yang aneh-aneh” cegahku.
“Iya. Be-te-we, Fi, kamu yakin kalau anak itu adik kamu ? tapi diakan semester 3 ? kalau adik kamu kan seharusnya mahasiswa baru sekarang kalau dia kuliah”
“Yah, maka dari itu, kamu ku ajak ke sini untuk sama-sama memastikannya.” jawabku mulai sebal. Terus kupandangi aksi protes mahasiswa yang semakin memanas itu. Mataku tertegun pada satu sosok yang entah kurasa Aku mengenalnya. Seseorang yang tengah berteriak memegang toak. Matanya seperti nata yang kukenal.
Selang beberapa jam, Aksi protes itu berhenti. Aku dan Irga tengah menikmati Es Jeruk segar di kantin yang dipenuhi mahasiswa mengisi perutnya yang mungkin berteriak-teriak sejak jam pertama kuliah.
“Bu Alfiah. Ini Firman.”
Suara itu mengejutkan kami. Indar, mahasiswa yang selalu ku tanyai tentang mahasiswa yang baru saja ia kenalkan padaku. Astagfirullah. Aku terkejut melihat anak itu. Air jeruk yang tadinya tengah mengalir di kerongkonganku, seperti kembali memenuhi ringga mulutku. Anak yang tadi kulihat memimpin aksi demonstrasi di depan rektorat itu. Semakin dekat kutatap wajah anak itu, entah kenapa hatiku mulai berdegup kencang.
“Oh, iya. Maaf. Terima kasih atas bantuannya, Indar. Dan Firman boleh saya minta waktu kamu sebentar ? ada yang ingin saya tanyakan. Boleh ?”
Wajahnya bertanya-tanya. Namun kemudian ia mengangguk. Sedangkan mahasiswa yang mengantarnya tadi berpamitan.
“Nama kamu Firman Abdillah ?”
“Iy..Iya.. Ibu..?” jawabnya ragu
“Saya Alfiah. Alfiah Mustika Abimanyu.”
Mendengarkanku memperkenalkan diri, tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Sedang jantungku yang tadinya berdetak tak menentu, tiba-tiba seperti akan jebol keluar dari dadaku.
“Kakak…” ucapnya pelan.
“Immank….” Spontan ku rengkuh tubuh anak itu.
Tak penduli semua orang di tempat itu melihat. Saat yang selama ini ku nantikan akhirnya tiba. Ia pun memelukku erat. Kurasakan sama seperti hari saat kami akan dipisahkan.
Hari itu benar-benar hari yang sangat indah bagiku. Subhanallah. Alhamdulillah. Terima kasih Ya Allah. Engkau mendengarkan doaku.
“Kak, Ibu di Jogja. Meneruskan usaha Almarhumah Eyang. Ayah dimana ?” Ujarnya setelah melepas pelukan rindunya.
“Oh ya ? Ibu sehat, Mank ? bagaimana Ibu selama ini ? Ayah di Sorong. Ayah pindah tugas di sana. Minggu lalu ia di sini. Cuti. Ayah selalu rindu sama kalian tapi tidak pernah tahu kalian ada dimana. Eh, kamu tinggal di rumah Kakak ya mulai hari ini.”
***
Subuh kemarin, masih kusebut adaa’an pada niat sholatku. Subuh ini. Saat-saat mengakhiri Desember. Saat lafadz ma’muman menempel di bibirku. Kulekatkan pandanganku di punggungnya yang kini tak bisa kusebut bocah seperti dulu. Lebih pantas di panggil lelaki. Ia tampak tampan. Terlukis wajah tegar Ibu di sana.
“Kak, Nanti malam Immank harus nginap di sekretariat. teman-teman himpunan mau LPJ. Immank harus menemani mereka selama empat hari atau lebih.”
“Haahh ? lama sekali ? berarti Kakak harus tahun baru sendirian donk ?” tanyaku agak kecewa.
Kulihat ia mengangguk. Tersenyum kecut. Tapi Aku faham. Dia adalah anak yang bertanggung jawab. Seperti Ayah.
“Kak, Immank rindu pada Ayah dan Ibu. Rasanya Immank ingin kembali ke masa kecil dulu lagi saat kita bersama” ujarnya tiba-tiba.
Tubuhnya disandarkan pada punggungku yang lebih kurus darinya. Matanya menerawang menembus langit-langit kamarku yang penuh bercak. Air dari genteng yang sempat bocor seminggu yang lalu meninggalkan polkadot coklat tak beraturan.
“Bisa tidak ya, Kak ? keluarga kita kembali seperti dulu lagi ? kalau keluarga kita utuh lagi, kita berdosa pada Eyang atau tidak ya ?”
“Mank. Dulu Kakak selalu menganggap ini adalah kesalahan Eyang. Tapi karena nasehat Ayah, Kakak merasa ini memang sudah jalan dari Allah. Kita tidak akan tahu bagaimana nikmatnya berkumpul kalau kita tidak pernah terpisah. Dan yakinlah, pasti kita akan kembali bersatu, ada ataupun tidak adanya Eyang” Jawabku sambil ku usap rambutnya seperti dulu saat ia .
 “Yah. Kalau memang seperti itu, kita bagi tugas saja, Kak. Kakak yang menyatukan Ayah dan Ibu, biar Aku yang meminta izin pada Eyang” ujarnya sembari melepas tawanya.
***

 Bersambung..... ke Bag. II

Read More

FB Comment

 

©2009CATATAN KECILKU | by TNB