Jumat, 05 April 2013
Cerpen - Kotak Musik - Bag 1
Biasanya saat aku merasa bosan, pantai adalah tempat terbaik yang
selalu ku kunjungi. Tempat yang selalu mampu melebur seemua kekesalanku menjadi
sebuah kedamaian. Tapi kini, meskipun telah berjam-jam duduk di tepian pantai
ini, tak juga membuat hatiku yang tidak karuan berkecamuk menjadi normal
seperti semula. Atau minimal menjadi sedikit lebih baik pun tak bisa. Angin
sejuk yang berkali – kali menggoda helaian rambutku masih tak mampu
menghentikan kekacaua dalam hati. Rasanya ingin terus menangis, terus berteriak
dan terus memaki. Tapi entah siapa yang harus ku maki. Ku lirik alroji di
tanganku, tepat pukul 5 sore. Sore ketiga setelah kenyataan yang kurasakan
bagai kiamat dunia. Dan Ini kali yang kedua aku merasakan kesedihan yang begitu
hebat. Mungkin inilah bagian terburuk dalam kehidupanku.
Hari itu tanggal 17 juli. Pada tanggal yang sama saat ku katakan ‘Ya’
atas pertanyaan yang diam-diam memang kuharapkan setelah ku berkenalan
dengannya.
“Aku bosan panggil kamu Bulan. Jadi boleh tidak aku panggil kamu
Sayang..? Mau kan kamu jadi kekasihku”
Itu kata Micky. Kata-kata yang terdengar sedikit aneh ditelingaku
tapi tak bisa mencegah hatiku tuk tertawa girang. Dan sejak saat itu Micky
benar-benar nyaris tak pernah memanggilku Bulan. Memanggilku Sayang mengganti Nama
yang kata Papa paling indah untuk putri semata wayangnya. Selama 3 tahun
berpacaran dengan Micky, membuat hidupku menjadi bergantung padanya. Sebab ia
tak hanya menjadi sosok pacar buatku. Tapi ia mampu menjadi semua sosok yang ku
butuhkan. Menggantikan sosok Papa yang hanya bisa kutemui pada jam 9 malam saat
ia pulang kerja, bahkan menggantikan sosok Mama yang membantu mengompres dahiku
ketika aku demam terkena air hujan. dan tentunya ia benar-benar menjadi pacarku
yang mampu menghapus air mataku ketika ku ingat kenangan bersama Mama. Ya, Mama
yang sudah pergi 7 tahun yang lalu karena kanker rahim yang dideritanya. Tepat
pada tanggal 17 juli ketika aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP.
Empat tahun memang bukanlah waktu yang sebentar untukku merasa
terpukul atas kepergian Mama. Aku memang terlalu manja pada Mama. Kepergiannya hampir
membuatku gila. Papa sudah mengupayakanku untuk pindah sekolah, sebab sekolahku
sebelumnya adalah tempat Mama dulu mengajar. Bahkan aku pun di ajaknya tinggal
di rumah Oma. Tempat yang paling ku suka saat aku kecil. Ini semua dilakukan
papa untuk mengembalikan senyumku yang bahkan semakin hilang. Tapi semuanya tak
berhasil. Aku kembali bisa tersenyum saat terakhir kali kulihat Papa memandangi
Foto Mama sambil terisak.
“Mestinya aku tak ikhlaskan kau pergi bila Bulan menjadi seperti
ini..”
Itu Katanya. Sejak saat itu aku menjadi sedikit lebih kuat. Tak
sanggup melihat Papa bila harus sedih karena keadaanku. Senyum dan tawaku
benar-benar kembali ketika aku berkenalan dengan Micky. Ia mampu mengobati
semua luka yang kuderita, hingga 3 tahun ku berpacaran dengannya.
Tanggal 17 juli aku kehilangan Mama, tanggal 17 juli Micky
menyatukan kepingan-kepingan hatiku, dan tiga hari yang lalu, tanggal 17 juli
ia hancurkan kembali kepingan-kepingan yang pernah ia satukan. Ia putuskan
hubungan kami dengan alasan ia akan melanjutkan S2 nya di Negeri Jiran
Malaysia.
‘Apa masalahnya kalau kita Long Distance Love ? Ini bukan Zaman
batu. Sekarang sudah ada telepon untuk kita berkomunikasi. Ah, Mungkin kau
sudah tak mencintaiku’. Pikirku.
Bosan berlama-lama melamun di pinggir pantai, matahari pun sejak tadi
sudah tenggelam. Aku pulang. Dengan scooter kesayanganku, Ku susuri Jalan
Nusantara menuju tempat kediamanku yang sepi.
Di sebuah persimpangan jalan, tiba-tiba saja kendaraanku berhenti. “Ah
Shit”. Makiku. Kenapa begini sialnya hidupku ? salah apa aku ini ya Tuhan ?
Ku dorong pelan-pelan scooterku menyeberangi jalan. Seorang bocah kurus menghampiriku
membantuku menyeberang. Tiba-tiba saja kecil yang ku simpan di keranjang barang
schooteerku disambar seseorang.
“heii… Jambret… jambret… Tolong jambret…” Spontan ku berteriak.
Bocah yang membantuku menyeberang bersama dua orang temannya mengerjar jambret
yang menyambar tasku. Beberapa orang keluar dari dalam toko dipinggiran jalan
mencoba menenangkanku yang kaget dan dilihatnya tampak ketakutan. Sampai Sekitar
15 menit kelompok yang memburu si penjambret sial itu kembali.
“Maaf, Mbak. Copetnya tidak tertangkap. Ini Cuma tasnya di
tinggalkan di ujung lorong sana. Coba periksa masih ada atau tidak isinya”
Kuperiksa isi tasku. Dompet, handphone, bahkan uang-uang receh
kembalianku membeli sebotol air tadi pun raib. Untung saja ATM ku tertinggal di
meja kamar. Masih untung. Hanya saja kartu-kartu yang tidak kalah perlunya kini
tak kumiliki lagi. Dan mesti ku urus ulang.
“Habis, Bang “ jawabku singkat.
Orang-orang yang berkumpul tadipun pergi. Mungkin akan menceritakan
pada mereka yang tak sempat melihatnya kejadian tadi. Huhh. Bagaimana ini ?
semuanya hilang. Motorku mogok. Ingin ku telpon Papa juga tak bisa. Aku memang
sedang benar-beenar kesal. Tapi tak mngkin aku menangis disini.
“Kakak mau pulang ya ? motornya mogok ya ? jadi gimana pulangnya ?
rumahnya masih jauh ?” gadis kecil teman si bocah kurus yang ikut mengejar
jambret tadi bertanya padaku. Kujawab hanya dngan anggukan.
“Kalau kakak tidak punya uang lagi, kakak boleh kok pinjam uang
kami. Rumah kakak dimana ? berapa tarif angkotnya ?”
Hah. Gila. Bocah pengamen ini hendak meminjamkan uangnya untukku.
Tak mungkin aku mau. Selain malu, pasti itu uang makan mereka sebentar malam.
Tak mungkin aku meminjamnya. Dimana juga aku bisa mengembalikannya. Bocah
seperti mereka biasanya tak hanya meengamen di satu tempat. Pasti
berpindah-pindah. Menungguku lama tak menjawab pertanyaanya. Tiba-tia ia
tertawa.
“Kakak kira kami bercanda ya ? kami serius, Kak. Kakak tak perlu
malu atau berfikir kami tak akan makan sebentar malam bila kami pinjamkan uang
kami pada kakak. Ayolah kak. Dari pada harus mendorong motor sampai rumah.”
Katanya seperti mampu membaca pikiranku.
“Disana ada bengkel. Kakak bisa titipkan motor kakak disana. Kakak
pulang dengan angkot, dan besok kembali mengambil motor kakak sekaligus
mengembalikan apa yang kakak pinjam dari kami. Bagaimana ?” lanjutnya yang
Nampak bukan seperti pengamen jalanan. Justru seprti seorang guru yang mengajarkan
sesuatu pada muridnya.
Aku mengikuti tawarannya. Dan akupun pulang setelah berjanji untuk
kembali ke prsimpangan jalan ini pagi-pagi, tentunya untuk mengeembalikan
uangnya.
***
Keesokan harinya tak sempat aku menemui pengamen – pengamen kecil
itu. Pesanan lukisan di tempatku bekerja semakin banyak. Setelah beberapa hari
ku tinggalkan karena perbuatan Micky. Biar aku menyalahkannya.
Dua hari kemudian barulah aku bisa meluangkan waktuku untuk menemui
mereka. Tak lupa kubawakan bebeerapa gelas minuman dingin dan beberapa potong
roti yang ku beli dari super market dekat tempat kerjaku. Setelah ku ambil
schooterku, aku kembali ke persimpangan jalan. Tapi tak ada bocah pengamen yang
kemarin membantuku disana. Termasuk Cici. Gadis yang meminjamkan uangnya
padaku. Hanya ada seorang bocah. Bocah yang membantuku menyeberangi jalan.
Kutanya keberadaan Cici, tapi ia tak menjawab. Malah ia menarik tanganku
melewati lorong sempit di samping sebuah pabrik tripleks yang letaknya tak jauh
dari persimpangan jalan tempat mereka mangkal. Tepat di belakang pabrik itu
terdapat sebuah bangunan tinggi yang belum jadi, akan tetapi terlihat tua.
To be continued...
Baca juga...
0 komentar:
Posting Komentar