Pagi cerah. Bunga aster yang bertangkai kecil namun kokoh di dalam
pot, tertata rapi di halamanku. Tanahnya basah. Mungkin baru saja disiram oleh
Mama. Gorden biru di jendela kamarku melambai – lambai seirama dengan rambutku
karena angin lembut merayu.
“ Sayuuuuurrr…Sayuuuurr.. Eh, Jamur, Neng ..!”
Telingaku yang sejak tadi mencoba bersahabat dengan alunan musik
yang didendangkan angin pagi ini, buyar begitu saja mendengar teriakan lelaki
paruh baya di depan jalan sana. Itulah sapaan Mang Ipin, Si Penjual sayur yang setiap
hari berkeliling kompleks menjajakan dagangannya. Kutatap wajahnya masih dari
jendela kamarku dan hanya dijawabnya dengan cengiran.
“Jamur apa, Mang ? Kalo jamur kuping Zah gak suka, kalo
jamur kancing masih ada di kulkas, kalo jamur merang Zah lagi gak pengen”.
“Bukan itu, Neng. Ini jamur barat. Mau ya ? tinggal dua bungkus
lho, Ntar nyesel gak nyobain !”
Mendengar nama jamur yang ku tahu rasanya sangat enak itu, segera ku
acungkan jempolku. Aku segera berlari dengan menyambar dua lembar uang sepuluh
ribuan dari atas mejaku. Uang kembali pembelian siomai tadi malam.
Kuterima kantongan hitam berisi dua bungkus jamur yang ditawarkan
Mang Ipin. Jamur memang menjadi sayur kegemaranku. Terlalu gilanya diriku
dengan jamur, kini pun ku pilih fakultas pertanian sebagai studiku.
“Kamu itu mau jadi apa sich, Za ? koq pilih fakultas pertanian ?”
kata Mama keheranan saat mendengar keputusanku.
“Ma, Izzah itu mau jadi pengusaha budidaya Jamur. Kan enak. Besok –
besok kalau Izzah mau masak, Mama gak perlu repot – repot beli di Mang Ipin.
Lagian di Fakultas Pertanian, cowoknya cakep – cakep.hehe..” jawabku sambil bergurau.
Kuiris jamur yang sudah ku beli pagi tadi dan mereka siap kuadu
dengan berbagai macam bumbu sedap di atas wajan. Melihat potongan – potongan
jamur ini, mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang pernah sangat kukagumi
dan sepertinya masih ku cintai.
Jamil. Seorang yang wajahnya tak berhenti berlalu-lalang di hatiku.
Dia adalah pacarku sebelum dua bulan yang lalu. Wajah yang manis dan
kepintarannya membuat banyak perempuan tunduk di hadapannya. Termasuk Aku. Dan
berbanggalah diriku saat itu menjadi gadis spesialnya. Tentu saja kecintaanku
terhadap jamur telah dikalahkannya.
Jalanan dari rumah menuju ke kampus mungkin sudah bosan melihat keromantisan
kami berboncengan. Padahal hari-hari sebelumnya, aku hanya sendirian mengayuh sepeda. Dan bila
ia pandai berbicara, kotak makanan yang ku bawa untuk Jamil pun akan protes
karena isinya hanya Jamur Crispy atau Jamur keju. Sebab hanya itu menu yang
selalu kusuguhkan untuk Jamil.
Pagi itu hari minggu.
Sekitar pukul 9, Yamaha Vixionnya sudah menderu di depan rumahku. Tak biasanya
Jamil menjemputku sepagi itu. Saat hari minggu biasanya ia hanya datang pada
sore hari. Beruntung hari itu Mama sedang berkunjung ke rumah Tante Mira dan
pekerjaan rumahku telah selesai kulakukan.
‘Akhirnya bisa sesekali jalan – jalan di weekend’ pikirku singkat. Dan benar, Jamil mengajakku ke Alun – Alun kota.
Suasana sejuk alun-alun yang sangat jarang ku nikmati. Meski jarak
dari rumah ke Alun – alun kota tak sampai dua kilometer, tempat ini jarang ku
kunjungi. Lebih sering ku habiskan waktu di rumah bersama Mama atau di kampus
bersama Jamil.
“James, koq tumben sich, Kamu ngajakin aku ke sini pagi – pagi hari
minggu..? kamu rindu karena tadi malam kita gak ketemuan ya ?” godaku dengan
panggilan kesayangan yang kuberikan padanya. Sambil ku nikmati segarnya udara
kutunggu jawabannya. Ya, James adalah panggilan sayangku untuknya.
Ia tak menjawab pertanyaanku, hanya ia ladeni dengan tawa kecilnya.
Ketika ia tertawa, ia terlihat semakin manis. Kulit kuning langsat yang ia
miliki semakin cerah terkena cahaya
matahari pagi.
“Lhoo.. kamu sebel ya ? sebel ya, karena aku banyak tanya ? Aku kan
memang gini, James. Kamu sendiri yang bilang kamu suka karena aku cerewet dan
banyak bertanya.” Kataku mendesak tuk dijawab.
“ Hehehe.. iya. Aku kangen sama kamu dan sekalian ada yang ingin
aku ceritakan.” Jawabnya.
“Apa ?”
“Emm… sebenernya aku… hmm.. anu..”
“Ihh,, Anu.. anu,, apa’an sih James? Kamu kan udah jadi pacar aku.
Koq kamu bicaranya jadi seperti mau nembak aku lagi.” Tanyaku penasaran.
“Haha… iya ya…sebetulnya aku mau..” ucapnya yang terbata – bata
sambil setengah tertawa.
“Hayooooo… kamu mau apa ? kamu mau minta di….. di kiss ya ?
ha..ha..ha..” tiba – tiba seseorang mengagetkan dan menghentikan perbincangan
kami.
“Whooii.. loe ngapain di sini, Ndut ? ganggu orang lagi weekend
berduaan aja.” Kataku kesal melihat sosok gembul yang tiba – tiba datang.
“Uuyee… lagi berduaan ya ? maaf, Non. Ini kan tempat orang lari
pagi, ya gue di sini lagi Jogging. Nah, loe tumben disini berdua ? Mojok tu
malem – malem, Non. Jangan sekarang.” jawabnya.
“Hehe.. iya, Ta. Soalnya aku gak pernah ngajak Izzah kesini. Jadi
mumpung dia free pagi ini, ya ku dia ajak ke sini” tambah Jamil.
Gadis gembul yang datang ini adalah Ita, teman karibku. Rumahnya tak
jau dari alun – alun ini. Tak heran bila ia ada disini. Seusai tertawa – tawa
melihat jamil yang seperti salah tingkah dengan jawabannya, ia berpamitan tuk
pergi.
“Za, kita putus ya..!” ucapnya tiba-tiba setelah meyakinkan Ita
jauh.
“Hmm…?” tanyaku ingin meyakinkan.
“Iya. Kita putus ya ?”
Aku semakin tak bisa menjawab apa-apa. Heran, bercampur marah dan
sedih atau apalah namanya, jelasnya ini membuat sesak di dadaku dan memancing
sesuatu yang hangat mengalir di pipiku.
“Oh, Okey.” Jawabku kemudian. Aku segera berlari, pergi
meninggalkan Jamil. Kudengar suaranya terus memanggil dan tak kuhiraukan.
“Zaa.. Maaf… suatu saat kamu pasti tahu alasanku.. Zaa… Maaf..Zaa..”
teriaknya tak peduli orang-orang di sekelilingnya. Sama sepertiku yang tak
peduli dengan orang – orang yang terheran melihatku menangis.
***
“Za. Tadi Mama lihat Jamil
boncengan sama anak SMA. Cantik lho.” Kata Mama tiba – tiba saat menyiram
bunga.
“Udah deh, Ma. Biar aja. Mungkin pacarnya.” Sahutku mulai sebal.
“Hee.. tapi kalo Mama lihat sebetulnya lebih manis kamu deh dari
pada dia. Mana seksi banget. Masih SMA koq udah berani pakai pakaian seksi.”
Tambahnya sambil meruncing ujung bibirnya.
“Ya, mungkin emang dia suka cewek seksi, makanya mutusin Za. Ahh,
Ma. Za itu dah dua bulan belajar ngelupain dia. Tapi Mama ini, ngomporin melulu.
Gimana Za mau lupa. Yang ada makin dalam makin sebel. Udah Ah.” Protesku kesal.
Ku lempar gunting rumput yang sejak tadi ku pegang. Dan kutinggalkan Mama yang
entah masih melanjutkan celotehnya yang tak kudengar.
Rasa suntuk mulai menghinggapiku. Beberapa menit otakku buntu.
Entah apa yang ingin kulakukan. Kuambil ponselku. Kutekan nomor – nomor yang
sudah ku hafal sejak SMP dulu.
“Haaluuu.. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam. Ndut kerumah donk ! Ada sesuatu yang ingin gue
ceritakan.” Singkatku pada gadis yang ku dengar sedang berbicara sambil melahap
sesuatu di ujung telepon sana.
“Duh, Za. Malas ah. Gue lagi pingin menikmati masakan Mbak Mul
seharian. Nih, loe bisa cium dari situ gak wanginya bakso bakar buatannya ?
Uuhmm,, Jadi kita omongin lewat telpon
aja ya Ciinn…”
“Pliiisss deeehh. Ita Endut yang imut – imut kayak badut naik
sepeda butut, gue mau cerita masalah Jamil. Panjang kali lebar kali tinggi.
Jadi gak bisa diceritain di telepon. Udah ya. Daagh..” Jelasku dan langsung ku tutup
telepon.
Tak cukup tiga puluh menit sejak ku tutup telepon, Ita datang
bersama sepeda gunung yang nampaknya baru. Biasanya bila ku panggil datang
kerumah, ia datang dengan perlengkapan joggingnya.
“Sekalian untuk diet sehat” jawabannya bila ku tanya alasannya.
“Lihat,Za. Karena selalu loe ngeledekin gue dengan sepeda butut,
sekarang gue beli sepeda gunung yang lebih keren dari pada sepeda loe?”
Pamernya sambil menepuk – nepuk sadel sepeda barunya.
Kusambut dengan tawa atas tingkahnya. Bila Jamil menjadi laki-laki
di kampus yang banyak di taksir gadis-gadis, Ita inilah gadis yang ku lihat
memiliki banyak teman tapi tak sedikitpun naksir dengan Jamil, katanya. Justru
Sastro, mahasiswa Sastra Inggris teman sepermainan Jamil yang ia kejar-kejar
sampai hari ini. Alasan uniknya, sebab Sastro laki-laki yang pandai memasak.
“Eh, Za. Kenapa lagi dengan Jamil ? Loe tu ya. Gue perhatikan,
selama loe putus sama Jamil, loe jadi gak secerewet dulu. Loe bilang loe
cerewet karena banyak makan jamur. Sekarang loe gak doyan jamur lagi ya ?”
tanyanya panjang mengawali pembicaraan.
“Eiitss, jangan salah. Biar gue udah gak demen sama Si Jamil
Jamilah Jailangkung itu, perasaan cinta gue sama jamur merang justru semakin
tumbuh berkembang” jawabku seperti berpuisi.
“Ha..ha..ha.. Gak demen kata loe ? Kalau udah gak demen, ngapain
loe repot – repot manggil gue kemari ? tadi loe bilang mau cerita soal Jamil
kan ? ”
“Hmm, Iya sich. Eh, Ta. Sebenernya kenapa ya Jamil mutusin gue ?
apa karena gue terlalu manja dan cerewet sama dia ? atau gue terlalu over
protektif sama dia ?” tanyaku sambil menerawang memanggil bayangan wajah Jamil.
“Hah ? mulai dari loe nangis – nangis pas diputusin Jamil dan sampai hari ini, pertanyaan loe tuh
sama aja. Eh, Za. Menurut gue, Jamil itu pasti punya selingkuhan deh. Udah
seminggu lebih gue lihat, Jamil antar jemput cewek SMA lewat rumah gue.”
Ceritanya panjang.
Suaranya merendah. Sedangkan mata sipitnya terus menatapku.
“Mama juga bilang gitu, Ta. Tapi tetap aja. Gue gak yakin hanya
karena cewek, Jamil mutusin gue gitu aja. Ta, yang paling gue ingin sekarang,
bukan Jamil kembali sama gue. Tapi gue harus tahu alasan jelas kenapa Jamil
sampai mutusin gue. Loe mau bantu gue, kan ?”
Mendengarkanku permohonanku, ia tersenyum sambil menyodorkan piring
jamur crispy yang sudah tandas isinya. Jelas ia mendukung misi yang akan
kulakukan dengan jaminan jamur-jamur crispy buatanku.
Sudah empat hari berturut-turut Aku dan Ita berada dalam misi yang
kami susun. Yaitu rencana untuk mencari tahu kebiasaan Jamil saat ini, tentunya
secara diam-diam.
Mulai dari SMA Negeri 13 tempat gadis yang selalu diantar jemput
oleh Jamil. Tapi kami tak mendapatkan jawaban yang jelas. Pada hari pertama,
memang kami temui Jamil menjemput gadis itu. Dan kami dapatkan info, nama gadis
itu Amelia. Hari-hari berikutnya tak kami temukan apa-apa. Ketika kami tanya
salah seorang siswa, ia bilang Amelia sedang sakit, jadi tidak masuk sekolah.
Di kampus sendiri kami menjadikan Habib sebagai informan yang akan
terus memantau gerak-gerik Jamil. Namun, kekecewaan kami temui lagi. Sebab
menurut pengamatan Habib tak ada yang aneh dari Jamil. Tiap harinya ia hanya
bertemu dengan Sastro dan Firman, mahasiswa yang baru konfersi dari Bandung.
“Za, udah hampir seminggu ini kita dah intel yang mau nyergap
teroris, tapi toh gak ada hasilnya. Kenapa sih loe gak tanya langsung aja sama
Jamil ?” protes Ita karena ketidak berhasilan kami mendapatkan informasi.
“Ah, Gak mau !! ntar dikira gue masih ngebet sama dia.” Jawabku
kesal.
Tiba-tiba ponsel di sakuku bergetar. Aku terkejut melihat nama
pengirim pesan singkat di ponselku.
“Astaga, Ta. Jamil tahu kerjaan kita seminngu ini.” Ucapku setengah
berteriak. Dan dijawabnya dengan wajah terkejut.
“Dia nunggu gue di kamar hitam sekarang” lanjutku.
“Oh ya ? ya udah. Buruan kesana. Ini kesempatan loe tuk tanya semua
alasna kenapa dia mutusin loe. Dan ingat ! jangan mau diajak balikan kalau loe
belum tau alasan yang sejujur-jujurnya. Okey” Nasehat sahabat gembulku.
“iya. Gue tau.” Singkatku sembari kusambar tas pinggangku.
Kamar hitam adalah tempat budidaya jamur di kampus kami. Tempat ini
adalah tempat pertama kali Jamil menawarkan dirinya tuk menjadi kekasihku.
Bukan setangkai mawar layaknya lelaki yang mengungkapkan cinta pada wanita
pujaannya. Jamil memetik setiap batang dari setiap jenis jamur yang ada di
kamar hitam itu tuk diberikannya padaku sebagai tanda cintanya. Selain itu
banyak kenangan lain bersama Jamil yang mungkin tak bisa ku lupakan disini.
“Za. Maaf aku merepotkanmu untuk
datang kemari” Suara Jamil dari arah punggungku.
“Langsung aja. Aku ditunggu Ita di kantin. Ada apa ?” desakku.
“Baiklah. Sebelumnya Aku benar-benar minta maaf. Hari itu Aku
memutuskanmu tanpa Alasan. Aku tahu kamu marah.” Jelasnya. Aku hanya diam dan
terus medengar.
“Za. Bukan karena ada
perempuan selain kamu lantas aku memutuskanmu. Amelia itu sepupu aku. Dia siswi
baru di sekolahnya, jadi setiap hari harus ku antar. Za, setiap orang butuh
cinta. Seperti jamur butuh tempat yang lembab untuk hidup. Jamur suka daerah
yang lembab, sedangkan kaktus suka tempat yang panas. Keduanya akan susah
tumbuh kalau bertukar tempat. Sama seperti manusia. Kalau kamu mencintai
seorang lelaki, kamu tak akan mau menukarnya dengan mencintai seorang
perempuan. sama sepertiku, Za. Sebetulnya, aku tidak bisa terus mencintaimu,
sebab…” jelasnya panjang.
Aku mulai getar-getir menebak apa yang akan ia katakan. Jantungku
semakin berdegup kencang. Sedang bibirku terkunci tak bisa membantah menunggu
kata-katanya.
“ Za, aku gak bisa terus mencintaimu dan menjadi pacarmu, sebab
kita sama. Kita sama-sama mencintai seorang..lelaki.”
Aku tertegun. Bibirku bergetar. Ingin menangis tapi hatiku ingin
tertawa. Meskipun terasa sakit, namun terasa lebih lega dari yang kurasakan
saat dia memutuskanku tanpa alasan dulu.
“James, ja..jadi.. kamu.. sorry” tanyaku gugup.
“Iya, Za. Aku gay. Dan saat kita pacaran, sebenarnya aku ingin
berusaha menjadi lelaki seperti pada umumnya. Seperti Sastro, Firman ataupun
Habib, Za” Jawabnya sambil menunduk. Kudengar ia setengah terisak.
Beberapa saat kami diam.
“Jamil. Udah. Gak apa-apa. Aku lebih merasa nyaman karena kamu udah
jujur. Dan jujur, aku masih mencintaimu sebagaimana lelaki biasa, tapi ku usahakan
rasa ini hilang. I love you”.
Aku pergi meninggalkannya. Air mataku kembali mengalir. Aku tak
langsung menemui Ita. Entah perasaan apa yang ada di hatiku. Mungkin kecewa
mungkin juga yang lainnya. Ku kayuh sepedaku kencang seperti sebelum Jamil
selalu mengantar jemputku dulu. Entah kemana arahnya.
Hari ini aku berfikir. Cinta memang benar-benar tak bisa
dipaksakan. Hari ini aku kecewa karena lelaki yang kudamba sepertinya tak
mungkin datang lagi. Mungkin seperti jamur yang kecewa karena hujan tak kunjung
datang. Bila aku adalah sosok yang mencintai seorang lelaki idamanku, maka
Jamil pun pasti seseorang lelaki yang menunggu lelaki idamannya. Yah, kita
sesama makhluk pencinta lelaki.