AKSI MASSA TAN MALAKA - IKHTISAR TENTANG RIWAYAT INDONESIA Bag 2

5. Tarunajaya
Sebagaimana di Kerajaan Roma dan Tiongkok, gundukan pengendali pemerintahan yang tidak mencocoki kebenaran di ibukota disapu oleh kekuatan baru dari daerah; demikianlah, darah Kerajaan Mataram akan dibersihkan dan dikuatkan oleh Tarunajaya serta kawan-kawannya.
Seorang putera Indonesia datang dari Makasar yang mengetahui jiwa (psikologi) rakyat Jawa mendapat pengikut yang besar, serta berhasil mengalahkan Raja Mataram yang keluar dari garis kebenaran itu. Pulau Jawa khususnya dan Indonesia umumnya akan mempunyai riwayat lain bila tidak datang satu kekuasaan baru di Pulau Jawa. Ramalam Empu Sedah yang lain sekarang seakan-akan terbukti, "Pemerintahan bangsa asing, yaitu kerbau putih yang bermata seperti mata kucing" (kebo bule siwer matane).
Dengan datangnya kekuasaan Belanda lenyaplah segala sesuatu yang menyerupai kemerdekaan. Pengaruh bangsa asing dan percampuran darah dengan bangsa Asia lain-lain menyebabkan gencetan yang sebuas-buasnya. Sekalian hak-hak ekonomi dan politik "ditelan" bangsa itu (Belanda) dengan kekerasan dan kecurangan, seperti yang belum pernah dikenal oleh bangsa Indonesia! Pemerasan yang serendah-rendahnya (kebiadaban) serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari!
Tarunajaya tak dapat melawan kekuasaan Belanda yang memakai senjata asing (Barat). Maka kucing melihat keadaan ini dan untuk pertama kali dipergunakanlah jalan politik devide et impera, memecah-belah dan menguasai, yang mashur itu. Sesudah Raja Mataram berjanji kepada Kompeni Hindia Timur untuk memberikan kekuasaan dan tanah, mulailah setan-setan itu bekerja.
Panembahan di Madura, seorang kawan dari Tarunajaya, disumbat oleh Kompeni Hindia Timur dengan mas intan dan perkataan yang manis-manis hingga mereka dapat bergandengan. Sekarang Tarunajaya berdiri di antara "tiga api": Belanda, raja dan kawan lamanya. Inilah yang menyebabkan kalahnya Tarunajaya dengan disaksikan oleh Kompeni Hindia Timur sendiri!
Kerajaan Mataram yang tak semanggah itu mendapat "kemenangan" atas sokongan yang tak langsung dari Kompeni, namun suatu hal yang tak semanggah itu lambat laun akan menjadi kenyataan juga seperti yang terbukti pada akhirnya.
6. Diponegoro
Jalan raya dari Anyer ke Banyuwangi yang mesti mempertalikan daerah-daerah yang dirampok itu dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels dengan cucuran peluh dan taruhan nyawa orang Jawa. Dengan adanya jalan itu, proses penanaman kapital jadi teratur. Tetapi proses itu tidak secara sukarela diterima oleh bangsa Indonesia. Ia adalah satu proses paksaan dan tidak menurut undang-undang alam. Saudagar di bandar-bandar didesak. Pelayaran dimonopoli oleh Belanda, bumiputra dilarangnya mempunyai hak milik. Pemasukan katun dari Barat yang murah harganya menghancurkan industri dan perdagangan, baik yang kecil maupun yang sedang. Borjuasi Jawa atau setengah Jawa dapat meneruskan langkahnya, yakni perjalanan antara feodalisme menuju kapitalisme. Akan tetapi, ia diperas sampai kering, oleh kapital Barat dan perangkatnya; begitulah feodalisme Mataram yang hampir tenggelam itu.
Seorang anak jantan dengan kemauannya yang keras seperti baja, berpengaruh laksana besi berani, yakni seorang laki-laki yang di dalam dadanya tersimpan sifat-sifat putera Indonesia sejati, tak berdaya mengubah nasib yang malang itu. Jika Diponegoro dilahirkan di Barat dan menempatkan dirinya di muka satu revolusi dengan sanubarinya yang suci itu, boleh jadi ia akan dapat menyamai sepak terjang Cromwell atau Garibaldi. Tetapi ia "menolong perahu yang bocor", kelas yang akan lenyap. Perbuatan-perbuatannya, meskipun penuh dengan kesatriaan, dalam pandangan ekonomi adalah kontra-revolusioner. Dan sangat susah dipastikan, macam apakah Diponegoro dalam pandangan politik, sebab tak dapat disangkal lagi bahwa cita-citanya adalah "Singgasana Kerajaan Mataram". Satu kekuasaan yang mudah berubah menjadi kelaliman.
Diponegoro menunjang kesuburan modal serta perluasan jalan. Karena itu, ia menghalang-halangi kenaikan penghasilan atau secara ekonomi, kontrarevolusioner. Tak pernah kita baca bahwa ia menentang kapital-imperialistis dengan menghidupkan kapital nasional. Pendeknya, ia tidak mempunyai program politik atau ekonomi. Ia merasa didesak oleh kekuasaan baru dan setelah dia lihat bahwa kekuasaan baru itu mempergunakan kekuasaan Mataram yang bobrok itu sebagai alat, maka kedua musuh itu pun diterjangnya.
Sekiranya Pulau Jawa mempunyai borjuasi nasional yang revolusioner, Diponegoro dalam perjuangannya melawan Mataram dan Kompeni pastilah berdiri di sisi borjuasi itu. Dengan begitu niscaya dapatlah tercipta suatu perbuatan yang mulia dan pasti. Tetapi itu tak ada, borjuasi yang berbau keislaman dalam lapangan ekonomi dihancurkan oleh kapital Belanda sama sekali. Dalam kekecewaan yang hebat terhadap Mataram dan Kompeni, dapatlah ia mempersatukan diri di bawah pimpinan Kyai Mojo, seorang ahli agama Islam yang fanatik dan bersemboyan "Perang Sabilullah", bukan kebangsaan.
Menarik satu kesimpulan terhadap pemberontakan Diponegoro bukanlah satu pekerjaan yang mudah. Karena hal ini sesungguhnya perjuangan kaum borjuasi Islam Jawa menentang kapital Barat yang disokong oleh satu kerajaan yang hampir tenggelam (Mataram).
Akibatnya sungguh jelas. Tak ada seorang pun mampu, bagaimanapun pintarnya, menolong satu kelas yang lemah, baik teknik maupun ekonomis melawan satu kelas yang makin lama makin kuat.
Satu kelas baru mesti didirikan di Indonesia untuk melawan imperialisme Barat yang modern.
Apakah kesimpulan dari riwayat-riwayat yang tersebut di atas?
Pertama, bahwa riwayat kita ialah riwayat Hindu atau setengah Hindu; kedua bahwa perasaan sebagai kemegahan nasional jauh dari tempatnya; dan yang penghabisan, bahwa setiap pikiran yang mencitakan pembangunan (renaissance) samalah artinya dengan menggali aristokratisme dan penjajahan bangsa Hindu dan setengah Hindu yang sudah terkubur itu.
Bangsa Indonesia yang sejati dari dulu hingga sekarang masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing.
Kebangsaan Indonesia yang sejati tidak ada kecuali ada niat membebaskan bangsa Indonesia yang belum pernah merdeka itu.
Bangsa Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri selain perbudakan.
Riwayat bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari tindasan kaum imperialis.

Read More

AKSI MASSA TAN MALAKA - IKHTISAR TENTANG RIWAYAT INDONESIA Bag 1

1. Pengaruh Luar Negeri
Riwayat Indonesia tak mudah dibaca, apalagi dituliskan. Riwayat negeri kita penuh dengan kesaktian, dongengan-dongengan, karangan-karangan dan pertentangan. Tak ada seorang jua ahli riwayat dari Kerajaan Majapahit atau Mataram yang mempunyai persamaan dengan ahli riwayat bangsa Roma kira-kira di zaman 1400 tahun yang silam, seperti Tacitus dan Caesar. Kita terpaksa mengakui bahwa kita tak pernah mengenal ahli riwayat yang jujur.
Paling banter kita cuma mempunyai tukang-tukang dongeng, penjilat-penjilat raja yang menceritakan pelbagai macam keindahan dan kegemilangan supaya tertarik hati si pendengar.
Tetapi meskipun demikian ada jugalah batas dari karangan-karangan dan putar-memutar kejadian yang sesungguhnya. Tak usah terlampau jauh kita langkahi batas itu, niscaya berjumpalah dengan intisari yang sebenarnya. Demikian jugalah dengan riwayat-riwayat negeri kita. Di antara kekusutan-kekusutan dalam karangan itu, terbayanglah kebenaran, tampaklah Kepulauan Indonesia, kerajaan-kerajaan dan kota-kotanya yang berdiri dan kemudian runtuh, laskar yang berderap-derap, berperang, kalah dan menang, kekayaan, kesentosaan, dan pasang-surut kebudayaan dan seterusnya. Tak dapat dipungkiri bahwa di Malaka, Sumatera dan Jawa berdiri negeri-negeri yang besar. Di Borneo Tengah pun ada satu kerajaan yang agaknya tak seberapa kurangnya dari Kerajaan Majapahit. Di sana berdiri kota-kota yang besar penuh dengan gedung dan perhiasan yang indah-indah, sebagaimana yang dibuktikan oleh barang-barang yang dijumpai di dalam tanah hingga waktu sekarang.
Dapat pula dipastikan, bahwa Indonesia belum pernah melangkah keluar dari masyarakat feodalisme, dan bahwa ia jauh tercecer dari feodalisme di Eropa. Bangsa Yunani jauh lebih tinggi dari bangsa Indonesia — dalam hal ini Majapahit bila kerajaan ini dianggap sebagai tingkatan yang setinggi-tingginya — dalam hal pemerintahan negeri, politik, ilmu hukum dan kebudayaan. Ya, rakyat Majapahit sebenarnya tak pernah mengenal cita-cita pemerintahan negeri. Berabad-abad pemerintahan itu bukan untuk dan milik rakyat. Perkataan: "Bagi Tuankulah, ya, Junjunganku, kemerdekaan, kepunyaan dan nyawa patik," pernah dan berulang-ulang diucapkan rakyat Indonesia terhadap raja-rajanya!! Di sana tak ada Orachus, Magna Charta dan tak ada pengetahuan yang diselidiki dengan betul-betul seperti yang dipergunakan Aristoteles, Pythagoras dan Photomeus. Pengetahuan mendirikan gedung-gedung dan ilmu obat-obatan kita masih dalam tingkatan percobaan. Keajaiban Borobudur kita tak seajaib segitiga Pythagoras, sebab yang pertama berarti jalan mati, sedang yang kedua menuntun manusia menuju pelbagai macam pengetahuan. Di manapun tak ada jejak (bekas-bekas) pengetahuan serta puncak kecerdasan pikiran!
Biarlah, tak usah kita ceritakan ilmu kebatinan Timur! Hal ini ada di luar batas pikiran; tambahan lagi bangsa Barat di Zaman Kegelapan (Abad Pertengahan) pun sudah mengenal itu. Lagi pula, kebatinan tidaklah bersandarkan kepada kebenaran sedikit jua, bahwa masyarakat kita senantiasa memperoleh dari luar dan tak pernah mempunyai cita-cita sendiri. Agama Hindu, Budha dan Islam adalah barang-barang impor, bukan keluaran negeri sendiri.
Selain itu, cita-cita ini tak begitu subur tumbuhnya seperti ke-Kristen-an di Eropa Barat. Mesin penggerak segenap pemasukan agama Hindu, Budha dan Islam sampai kepada masa kedatangan kapitalisme Belanda, serta semua perang saudara di waktu itu adalah berada di luar negeri. Indonesia adalah wayangnya senantiasa, dan luar negeri dalangnya.
2. Bangsa Indonesia yang Asli
Di zaman dahulu, tatkala bangsa Indonesia asli didesak oleh bangsa Tionghoa dan Hindu ke luar negerinya — Hindia-Belakang — dan melarikan diri ke Nusantara Indonesia, mereka telah mempunyai suatu peradaban. Pak tani di zaman itu menjelma menjadi bajak laut yang sangat buas dan ditakuti orang. Dengan Vintas (semacam perahu) kecilnya, mereka mengarungi seluruh kepulauan antara dua lautan besar, antara Amerika dan Afrika. Penduduk asli dari India dan Oceania ditaklukannya. Rimba raya hingga puncak gunung dijadikannya huma. Rumah yang bagus-bagus didirikannya, permainan dan pengetahuan dimajukannya. Tatkala bangsa Barat dan Timur menyembah kepada pedang Jengis Khan dan Timurleng serta lari ketakutan, waktu itu mereka bukan saja menentang, tetapi dapat pula mengundurkan laskar Mongolia. Bajak laut bernama Pakodato dari Kerajaan Singapura di Semenanjung Tanah Melayu pada tahun 500 dapat menggeletarkan Kerajaan Tiongkok dan Hindustan dengan angkatan armada serta pedangnya.

3. Pengaruh Hindu
Agaknya hawa tropika di lingkungan katulistiwalah, yang terutama menyebabkan teknik kita tak maju. Hawa yang subur dan melemahkan itu, serta sedikitnya penduduk, menjadikan kaum tani yang senang hidupnya itu, tinggal diam dan menerima, sedangkan kepulauan yang sangat banyak itu menarik hati penduduk di pantai-pantai, kepada perantauan dan pengalaman. Menurut riwayat dapat diketahui bahwa, sesudah dibawa pengaruh Hindu, kebudayaan mereka bertambah naik dan mereka mulai berkenalan dengan perampas. Kejadian itu berlangsung sesudah bangsa kita bercampur darah dengan penjajah-penjajah bangsa Hindu. Kini terbayanglah dalam benak kita kejadian-kejadian yang dapat digambarkan oleh kejadian-kejadian itu, yang membangkitkan tenaga terpendam itu jadi dinamis. Bukan oleh percaturan hidup kita sendiri (melawan atau antara kelas-kelas) maka penguraian kita perihal teknik kebudayaan feodalistis seperti tersebut di atas, tetapi disebabkan pengaruh yang datang dari luar.
Biarlah kita tinggalkan di sini perihal peraturan matriarchaat (pusaka turun kepada kemenakan) di Minangkabau yang berhubungan dengan keadaan alam dan kedudukannya yang terpencil. Dengan mendirikan demokrasi satu-satunya di Indonesia, kita tinggalkan pula riwayat Sriwijaya dan kerajaan lain-lain di Pulau Jawa, dengan menunjukkan garis-garis yang besar saja. Agama bangsa Indonesia, animisme, didesak oleh agama Hindu dan Budha, demikianlah kata orang kepada kita. Bangsa yang lebih pintar itu mengajarkan pemerintahan negeri, teknik kebudayaan yang lebih sempurna. Penduduk Pulau Jawa yang suka damai itu belum mempunyai pertentangan kelas dalam anti yang seluas-luasnya. Mereka tidak memberi kesempatan kepada pengikut-pengikut agama Hindu untuk mempertaruhkan kepercayaan mereka dalam sebuah pertentangan, yakni Hinduisme yang aristokratis dan Budhisme yang lebih demokratis. Ketajaman pertentangan agama, oleh masyarakat Jawa yang tidak mengenal kelas itu, dapat diredam. Sedikit atau banyak, semua filsafat Hindu diterima oleh penduduk Pulau Jawa yang asli. Siwa, Wisnu, dan dewa-dewa agama Budha yang di negeri asalnya satu dan lainnya bermusuhan serta berpisah-pisah, hidup bersama di Pulau Jawa dengan damainya.
Dalam hal yang seperti itu, Islam pun datang dan akhirnya mengambil kedudukan Hindu dan Budha.
Penduduk Jawa sekarang adalah "kristalisasi" dari bermacam-macam agama ketuhanan dan agama dewa-dewa (animisme). Ia bukan seorang animis, bukan seorang Hindu, bukan seorang Budha, bukan seorang Kristen dan bukan seorang Islam yang sejati. Indonesia menurut alam, tetapi Hindu-Arab dalam pikirannya.
4. Kegundahan (Pesimisme) Empu Sedah
Di kerajaan Daha yang kokoh lagi termashur yang diperintah oleh Raja Jayabaya, seorang yang cerdik dan pandai, lagi bijaksana, ada seorang ahli nujum yang bernama Empu Sedah, yang selalu gundah karena sangat curiga terhadap pengaruh luar negeri yang makin lama semakin besar. Dalam tulisannya disebutkan: "Sebuah revolusi di Pulau Jawa akan timbul, dipimpin oleh orang yang berkulit kuning dan akan memperoleh kemenangan buat beberapa lama". Dalam perkataan sindirannya tertulis "akan memerintah seumur jagung".
Tidakkah ramalan itu kemudian terbukti dengan kemenangan seorang Tionghoa Jawa bernama Mas Garendi yang dalam waktu yang singkat menggenggam kota Kartasura?
Di masa Empu Sedah, pengaruh bangsa Tionghoa makin lama bertambah besar.
Sudah pada tempatnya bangsa Tionghoa itu sedapat mungkin mempergunakan bangsawan Jawa sebagai alat untuk memenuhi kepentingan ekonomi mereka!
Bila maksud ini tak berhasil dengan pengaruhnya itu, adakalanya dengan jalan revolusi mereka mencoba-coba merebut pemerintahan negeri. Tetapi, supaya mereka dapat tetap memperoleh kemenangan mestilah mereka lebih kuat atau mendirikan satu kelas. Mereka haruslah menjadi anak negeri atau bercampur darah dengan bumiputra. Barulah mereka dapat menaklukkan raja dengan perantaraan kaum tani yang tidak senang itu. Karena bangsa Tionghoa dalam hal sosial tetap tinggal dalam ke Tionghoaannya dan tak memperoleh bantuan militer dari tanah air mereka, maka tak lamalah mereka sanggup mempertahankan kemenangan atas raja-raja Jawa itu.
Rupanya Empu Sedah mengerti betapa kebencian rakyat dan revolusi yang akan pecah. Sedang kekuatan nasional tak cukup kuat menahan revolusi sosial tersebut. Itulah yang menimbulkan kegundahannya.
Di Kerajaan Majapahit berdiri beberapa perusahaan batik, genteng dan kapal dengan kapital yang cukup besar. Dalam beberapa perusahaan bekerja ribuan kaum buruh. Nahkoda-nahkodanya telah ada yang dengan kapal‑kapalnya berlayar sampai ke Persia dan Tiongkok. Boleh jadi sungguh besar modalnya, malah modal orang asing. Saudagar-saudagar yang kaya di bandar-bandar seperti Ngampel, Gresik, Tuban, Lasem, Demak dan Cirebon agaknya adalah bangsa asing atau yang sudah bercampur darah dengan orang-orang Jawa. Nahkoda Dampu-Awang, menurut ceritanya yang berlebih-lebihan, mempunyai kapal yang layarnya setinggi Gunung Bonang dan kekayaannya kerapkali dijadikan ibarat, rasanya seorang Tionghoa-Jawa. Satu statistik di zaman itu tak ada pada kita! Tetapi banyak bangsa yang diam di Pulau Jawa dapat dibuktikan dengan perkataan seorang pujangga Majapahit, bernama Prapanca, "Tidak henti-hentinya manusia datang berduyun-duyun dari bermacam-macam negeri. Dari Hindia-Muka, Kamboja, Tiongkok, Annam, Campa, Karnataka, Guda dan Siam dengan kapal disertai tidak sedikit saudagar ahli-ahli agama, ulama dan pendeta Brahma yang ternama, siap datang dijamu dan suka tinggal.”
Sudah tentu, penduduk bandar-bandar yang makin lama makin maju itu merasa memperoleh rintangan dari kaum bangsawan di ibukota. Sebagaimana terjadi di negeri Eropa, penduduk bandar meminta hak politik dan ekonomi lebih banyak. Dari pertentangan antara pesisir dengan darat, perdagangan dengan pertanian, penduduk dengan pemerintah, timbullah satu revolusi yang membawa Pulau Jawa ke puncak ekonomi dan pemerintahan.
Bila bandarnya mempunyai industri dan perdagangan nasional yang kuat, niscaya Jawa akan mengalami satu revolusi sosial yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin satu revolusi sosial yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin oleh tenaga-tenaga nasional seperti terjadi di Eropa Barat, jadi revolusi borjuis terhadap feodalis.
Tetapi Jawa sesungguhnya dikungkung oleh ramalan Empu Sedah : "orang asing akan memimpin".
Seorang keturunan Hindu bernama Malik Ibrahim pada tahun 1419, dengan membawa agama yang belum dikenal orang di Pulau Jawa, datang di Gresik yang ketika itu penduduknya kebanyakan orang asing. Dengan cepat ia memperoleh pengikut. Jadi boleh dikatakan, dengan kedatangannya yang membawa agama Islam ketika itu, bumiputra bagaikan memperoleh "durian runtuh", karena ketika itu sedang berapi-api pertentangan antara penduduk pesisir dengan ibukota.
Keadaan bertambah kusut, dan pada akhirnya sampai ke puncaknya, yaitu penyerangan terhadap raja-raja yang dipimpin oleh seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden Patah. Dengan perbuatannya, Raden Patah menghancurkan kerajaan yang ada. Hal itu menunjukkan lagi bahwa seorang asing, dengan membawa paham baru (agama Islam) dan untuk mempertahankan kedudukan saudagar-saudagar asing di pesisir itu, berhasil menjatuhkan kerajaan bangsawan setengah Hindu. Kerajaan Demak berdiri dengan kemashurannya! Tetapi akhirnya terpecah belah oleh perang saudagar yang dinyala-nyalakan oleh orang asing yang cerdik-jahat.
Jipang bermusuhan dengan Pajang, Demak dengan Mataram. Semua perang saudara ini, besar atau kecil, untuk kepentingan bangsa asing, dalam waktu singkat berakhir dengan kemenangan seorang Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi.

Read More

AKSI MASSA TAN MALAKA - 1926 BAB I REVOLUSI


Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik, dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan "kekerasan".
Di atas bangkai yang lama berdirilah satu kekuasaan baru yang menang. Demikianlah, masyarakat feodal didorong oleh masyarakat kapitalistis dan yang disebut lebih akhir ini sekarang berjuang mati-matian dengan masyarakat buruh yang bertujuan mencapai "satu masyarakat komunis yang tidak mempunyai kelas", lain halnya jika semua manusia yang ada sekarang musnah sama sekali tentulah terjadi proses : werden undvergehen, yakni perjuangan kelas terus-menerus hingga tercapai pergaulan hidup yang tidak mengenal kelas (menurut paham Karl Marx).
Di zaman purba waktu ilmu (wetenschap) masih muda, semua perjuangan dalam kegelapan (kelas-kelas) diterangi (dibereskan) oleh agama yang bermacam-macam; perjuangan golongan menyerupai keagamaan, umpamanya pertentangan Brahmanisme dan Budhisme, Ahriman, Zoroastria dengan Ormus (terang dengan gelap), Mosaisme dengan Israilisme, kemudian Katholisme dengan Protestanisme. Akan tetapi, pada hakikatnya semuanya itu adalah perjuangan kelas untuk kekuasaan ekonomi dan politik.
Kemudian sesudah ilmu dan percobaan menjadi lebih sempurna, sesudah manusia melemparkan sebagian atau semua "kepicikan otak" (dogma), setelah manusia menjadi cerdas dan dapat memikirkan soal pergaulan hidup, pertentangan kelas disendikan kepada pengetahuan yang nyata. Dalam perjuangan untuk keadilan dan politik, manusia tidak membutuhkan atau mencari-cari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab agama, tetapi langsung menuju sebab musabab nyata yang merusakkan atau memperbaiki kehidupannya. Di seputar ini sajalah pikiran orang berkutat dan ia dinamakan cita-cita pemerintahan negeri. Kepada masalah itulah segenap keaktifan politik ditujukan.
Tatkala kehidupan masih sangat sederhana dan terutama tergantung kepada pekerjaan tangan dan pertanian, pendeknya di zaman feodal, seorang yang mempunyai darah raja-raja, biarpun bodohnya seperti kerbau, "boleh menaiki singgasana dengan pertolongan pendeta dan bangsawan", menguasai nasib berjuta-juta manusia.
Cara pemerintahan serupa itu menjadi sangat sempit tatkala teknik lebih maju dan feodalisme yang sudah bobrok itu pun merintangi kemajuan industri. Kelas baru, yaitu "borjuasi" yang menguasai cara penghasilan model baru (kapitalisme), merasa tak senang sebab ketiadaan hak-hak politik. Mereka meminta supaya pemerintahan diserahkan kepada mereka yang lebih cakap dan pemerintah boleh "diangkat" atau "diturunkan" oleh rakyat. Cita-cita politik borjuasi adalah demokrasi dan parlementarisme. Ia menuntut penghapusan sekalian hak-hak feodal dan juga menuntut penetapan sistem penghasilan dan pembagian (distribusi yang kapitalistis).
Tatkala raja dan para pendetanya tetap mempertahankan hak-haknya hancurlah mereka dalam nyala revolusi. "Revolusi borjuasi" tahun 1789 sebagai buah pertentangan yang tak mengenal lelah antara feodalisme dengan kapitalisme menjadikan negeri Prancis sebagai pelopor sekian banyak revolusi yang kemudian berturut-turut pecah di seluruh Eropa.
Nasib raja Prancis (yang digulingkan) diderita juga oleh raja Rusia yang mencoba-coba mengungkung borjuasi dan buruh dengan perantaraan kesaktian takhayul dan kekerasan di dalam sekapan feodalisme yang lapuk itu.
Cita-cita revolusioner berjalan terus tanpa mengindahkan adanya pukulan, peluru dan siksaan yang tak terlukiskan walaupun dengan pena pujangga Dostoyevsky. Di dalam gua-gua yang gelap, di dalam tambang-tambang di Siberia, di dalam penjara yang mesum, dingin dan sempit itu, angan-angan dan kemauan revolusioner memperoleh pelajaran yang tak ternilai. Kerajaan, gereja dan Duma (parlemen di Rusia) dalam waktu yang singkat habis disapu oleh gelombang revolusioner yang tak terbendung. Dalam revolusi buruh bulan November 1917 kelihatan bahwa kelas buruh mempunyai kekuatan dan kemauan yang melebihi borjuasi.
Raja Inggris, George III, yang tak mengindahkan riwayat negerinya sendiri menyangka bahwa armada yang kuat dan kebesaran kekayaannya dapat merintangi tumbuhnya kesosialan. Bangsa Amerika Utara dengan tak mengindahkan jumlahnya yang kecil, kurangnya pengalaman dalam soal penerangan, uang dan lain-lain alat material, dapat mencapai kemerdekaannya sesudah mengadakan perlawanan habis-habisan yang tak kenal lelah itu.
Baru setelah kungkungan ekonomi dan politik berhasil diputuskan dari imperialisme Inggris, dapatlah Amerika Utara melangkah menuju kekayaan kekuasaan dan kebudayaan yang sungguh tiada dua dalam riwayatnya.
Seandainya ia belum dua kali menceburkan diri kedalam revolusi (pada tahun 1860), Amerika Utara tak akan dikenal dunia selain sebagai Australia dan Kanada.
Revolusi sosial bukanlah semata-mata terbatas di Eropa saja, tetapi merupakan kejadian umum yang tidak bergantung kepada negeri dan bangsa. Tidakkah Jepang 60 tahun yang lalu (1868) menghancurkan sekalian hak-hak feodal dengan perantaraan revolusi? Sesudah kejadian itu, lenyaplah Kerajaan Matahari Terbit.
Pendeknya dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern tanpa kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan.
Revolusi bukan saja menghukum sekalian perbuatan ganas, menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga mencapai segenap perbaikan dari kecelaan.
Di dalam masa revolusilah tercapai puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan pikiran dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru.
Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi.
Revolusi adalah mencipta!

Read More

AKSI MASSA TAN MALAKA 1926 - Pengantar Penulis


(Mephistopheles)

Asia sudah bangun!
Lambat laun bangsa-bangsa Asia yang terkungkung itu tentu akan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan. Tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan bi­lamana dan dimana bendera kemerdekaan yang pertama akan berkibar. Siapa yang menyelidiki sedalam-dalam­nya perekonomian Timur, politik dan sosiologi akan da­pat menunjukkan halkah rantai yang selemah-lemahnya dalam rentengan rantai panjang yang mengikat perbuda­kan Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di Indonesia benteng imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil.
Imperialisme Belanda lebih tua dan lebih kuno dari pada imperialisme Inggris dan Amerika, dipisahkan oleh satu lembah yang tak dapat diseberangi dari jajahannya. Negeri Belanda, karena tidak mempunyai bahan-bahan untuk industrinya, dari dahulu hanya mengusahakan per­tanian dan perdagangan.
Penjabaran kapitalnya dari permulaan abad ini ke se­luruh Indonesia sangat luasnya.
Pusat industri Belanda sekarang terletak di Indone­sia, sedang pusat perdagangan dan keuangannya ada di negeri Belanda. Bankir, industrialis dan saudagar tinggal di negeri Belanda, sedang buruh dan tani di Indonesia. Jika kita perhatikan kedua lautan yang memisahkan Be­landa dengan Indonesia itu, serta tidak pula kita lupakan perbedaan bangsa, agama, bahasa, adat-istiadat antara penjajah dan si terjajah, antara pemeras dan si terperas, tampaklah kepada kita satu perbandingan dari pergaul­an yang luar biasa di dunia imperialisme waktu seka­rang. Luar biasa, sebab kaum modal bumiputra tak ada. Jadi, titian antara negeri Belanda dengan Indonesia pu­tus sama sekali.
Ketiadaan kaum modal bumiputra yang sifatnya hampir bersamaan dengan imperialisme Belanda (sama­sama mau menggencet buruh dan tani) menyebabkan im­perialisme Belanda sukar sekali membereskan krisis eko­nomi di Indonesia. Dimanakah ada di Indonesia tuan-tu­an tanah bumiputra seperti di Mesir, India dan Filipina yang dapat menunjang kaum imperialisme untuk membela kepentingan-kepentingan ekonomi mereka? Dan dimanakah ada kaum modal bumiputra yang kuat, yang meminta-minta kekuasaan dalam politik perekonomian‑nya seperti di India?
Tuan-tuan tanah Indonesia yang sedikit berarti telah lama menjadi gembala, kuli atau kuli tinta! Bangsa-bang­sa Eropa, Tionghoa dan dan Arab menguasai semua per­dagangan besar, menengah ataupun kecil! Bangsa Indo­nesia yang menengah atau yang kecil telah lenyap dari Pulau Jawa sejak beberapa tahun yang silam oleh pema­sukan barang-barang pabrik dari Eropa.
Soal perguruan dengan sengaja dilengahkan oleh Be­landa, kaum intelektual jadi kurang. Sebab itu, kendati­pun kaum saudagar bumiputra seperti India, mau me­nyokong mereka mendirikan industri, toh tidak akan berhasil.
Sebab ketiadaan kaum modal tuan tanah bumiputra itu, maka setiap aksi parlementer dari partai nasional ma­na pun tidak berguna.
Bagaimanakah "bapak gula" dan "nenek minyak" di negeri Belanda akan dapat memberikan hak pemilihan umum kepada bangsa Indonesia? Atau dengan lain arti: mempercayakan kekuasaan politik kepada wakil-wakil tani dan buruh yang miskin? Jika sekiranya di belakang kaum intelektual, berdiri tuan-tuan tanah dan kaum modal bumiputra yang akan mereka wakili di parlemen, tentulah akan berlainan keadaan itu. Dan cakap angin tentang "perubahan dalam pemerintahan di Indonesia" ada juga artinya sedikit. Imperialis Belanda berangsur-angsur, lambat laun dapat menyerahkan pemerintahan itu kepada bangsa Indonesia yang cakap dan jujur. Bukan­kah melindungi modal bumiputra, sebagian juga berarti melindungi modal bangsa asing? Di dalam nisbah seka­rang ini nyatalah bahwa flap pemerintahan bangsa Indo­nesia haruslah tunduk kepada kemauan modal asing yang besar-besar. Dan pemerintahan seperti itu tak akan diakui sebagai berasal dari rakyat dan oleh rakyat!
Pendeknya, Indonesia tak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun intelektual buat melepaskan diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam lingkung­an imperialisme Belanda. Bersamaan dengan itu, kans untuk mencapai kemerdekaan dalam arti yang seluas­-luasnya dengan jalan menguasai setengah, tiga perempat, hingga tujuh per delapan parlemen lenyap buat selama­nya. Impian seorang makhluk seperti Notosuroto yang mengangan-angankan Nederlandia Raja akan tetap jadi lamunan orang yang fasik.
Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekua­saan politik ada di tangan rakyat. Dan Indonesia akan mendapat kekuasaan politik tidak dengan jalan apa pun, kecuali dengan aksi politik yang revolusioner lagi teratur, dan yang tidak mau tunduk.
Dewan Rakyat kadang-kadang boleh dimasuki! Teta­pi bukan dipergunakan sebagai senjata yang sah untuk memperoleh pemerintahan nasional yang bertanggung jawab penuh dengan perantaraan Dewan Rakyat bekerja sama dengan imperialis Belanda. Tetapi guna mengem­bangkan usaha revolusioner hingga ke dalam kamar-kamar diperoleh dengan perantaraan aksi-aksi parlementer samalah dengan seseorang di Gurun Sahara yang mem­bum fatamorgana. Tetapi siapa yang mempergunakan sekalian pengetahuannya untuk aksi massa yang teratur, niscaya memperoleh kemenangan itu seumpama "ayam pulang ke kandangnya".
Soal kemerdekaan Indonesia bukanlah satu soal yang terbatas di Indonesia saja, yang dapat dipecahkan dengan perantaraan kongres dan putusan-putusan yang lembek di Dewan Rakyat, jangan dikata lagi dengan perantaraan kelakar-kelakar ekonomi dan kebudayaan di warung ko­pi. Soal itu mempunyai hubungan yang sangat rapat de­ngan kekuasaan Barat terhadap bangsa berwarna di benua Timur.
Salah satu sebab — dan ini bukan sebab yang terkecil — mengapa Amerika tidak juga memberikan kemerde­kaan yang seluas-luasnya kepada orang Indonesia Utara (Filipina) yang menurut perkataan kawan ataupun lawan­nya telah lama matang (seperti kata surat-surat kabar im­perialisme Amerika di Manila) adalah bahwa kemerde­kaan Filipina berarti satu pemberontakan dan penyembelihan di Asia melawan kekuasaan kulit putih (a general re­volt in Asiatic countries against white authority, uprising being attended by slaughter). Kelepasan Indonesia (pu­sat arti ilmu bumi dan peperangan Asia, penduduk lima kali lebih besar dari Filipina dan dengan perdagangan in­ternasional) mustahil tidak berarti sebagai satu pistol yang ditujukan kepada kekuasaan Barat terutama Inggris di Asia.
Belum lama ini bekas putra mahkota Wilhelm mene­rangkan kepada seorang wakil dari United Press di Locarno yang diumumkan oleh radio ke seluruh dunia, bah­wa bila manusia yang berjuta-juta di Asia pada satu hari bergerak memukul Anglosakson (Inggris, Prancis dan Be­landa) niscaya bangsa Melayulah yang pertama kali akan menyebabkan kesusahan. Pengharapan imperialistis dan sindiran macam apakah yang dimaksud putra mahkota yang senewen itu, bagi kita tetap nyata: bahwa Indonesia sekarang bukan Indonesia pada beberapa tahun yang lalu. Indonesia telah mengambil tempat yang penting dalam barisan berjuta-juta manusia di Asia.
Karena itu, kemenangan yang diperoleh dengan jalan damai dan parlementer sama sekali tak boleh dipikirkan. Bukankah hal serupa itu tepat mengganggu ketentraman kapitalis di Timur? Bila suatu hari Indonesia terlepas dan mempertahankan kemerdekaannya dari musuh-musuh dalam dan luar negeri, tentulah hal tersebut ditentukan oleh kodrat revolusioner, yakni yang disebabkan oleh ak­si massa: dari massa dan untuk massa.
Kalau penjajahan Belanda selama 300 tahun itu tidak berupa perampokan (membunuh habis industri bumiput­ra) niscaya derajat kaum intelektual kita jauh berbeda dari keadaan sekarang! Dan kita tentulah mempunyai sema­ngat kecerdasan (inteligensia) yang menurut asal, didikan dan perasaan menjadi pemuka dari tuan-tuan tanah, in­dustri, saudagar dan pegawai bumiputra. Pun juga akan timbul pergerakan demokrasi dan kemerdekaan nasional yang bersifat kerja sama (kompromis) dengan bangsa Be­landa atas pertolongan buruh dan tani seperti di India, Mesir dan Filipina lebih kurang.
Atas ketiadaan kaum modal bumiputra, intelegensia kita tak kuat berdiri. Ia melayang-layang di antara rakyat dengan pemerintah. Ia tidak mempunyai perasaan ingin mengorbankan diri seperti yang ditunjukkan nasionalis di negeri-negeri lain. Ia tidak mempunyai alat-alat pera­saan, pemikiran yang mendekatkan dirinya kepada mas­sa (rakyat murba). Disebabkan imperialis, kaum intelek­tual kita jauh dari massa.
Mereka tidak mempunyai satu kesaktian yang dapat mempengaruhi dan menarik hati rakyat. Kaum intelektual kita tidak beroleh kepercayaan dan simpati massa untuk menggerakkan mereka, membuat aksi-aksi serta memimpin mereka. Tambahan lagi, sebab jumlah kaum terpelajar yang tidak seberapa, mereka masih tinggal di dalam kelas mereka dan belum menjadi buruh terpelajar.
Untuk sementara waktu, dapatlah mereka menonton dari jauh. Lain halnya kalau jumlah mereka banyak, tentulah mereka akan luntang-lantung dan merasakan kemelaratan sebagai buruh industri dengan penuh "kegembiraan" dalam medan perjuangan.
Kecepatan timbulnya kelas intelektual, kekecewaan terhadap Budi Utomo (B.U.) dan National Indische Party (N.I.P.) serta kekejaman reaksi, mencakar pemandangan mereka ke jurusan yang lain. Sungguhpun masih sangat lambat dan masih berdiri beberapa pal (1 pal = 1.5 kilometer) jauhnya dari mas­sa serta dalam keaktifan dan politik terjejer sangat jauh di belakang dibandingkan dengan kelas mereka di lain ko­loni, tetapi mereka telah mulai bangun dari tidur. "Jubah malaikat" dari Notosoeroto telah dilemparkan mereka, dan mulai bersetuju kepada aksi-aksi revolusioner. Seka­rang dari beberapa universitas di negeri Belanda yang jauh itu berdengung-dengung suara mereka hingga kedengar­an oleh kaum intelektual yang ada di Indonesia.
Tetapi harapan buruh dan tani di Indonesia tidak cuma persetujuan hati saja dari intelektual itu. Mereka menghendaki perbuatan atau bukti-bukti.
Selama kaum terpelajar kita melihat bahwa perjuang­an kemerdekaan sebagai masalah akademi saja, selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka. Biarlah mereka melangkah keluar dari kamar be­lajar menyeburkan diri ke dalam politik revolusioner yang aktif.
Gelombang pemogokan, pemboikotan dan demon­strasi yang beralun-alun setiap hari bertambah besar, me­lalui rapat nasional menuju ke Federasi Republik Indone­sia, inilah jalan mereka, tidak lain!

Tan Malaka

Read More

FB Comment

 

©2009CATATAN KECILKU | by TNB