Profil SITI SOENDARI
Soendari dan Organisasi
dengan suara lantang dan berapi-api, dia tampil di hadapn ribuan buruh pada sebuah vergadering (rapat akbar) yang diadakan oleh VereenigingVan Spoor en Trampersoneel (VATP)—serikat buruh pertama di Hindia didirikan 1908 di Semarang. Seolah – olah tidak pernah habis kata – kata keluar dari mulutnya ketika berbicara tentang penjajahan kolonialisme, membuat semua peserta vergadering terkesima bukan hanya karena dia seorang perempuan, tetapi karena keulungannya dalam merangkai kata demi kata menjadi kalimat yang semangat perlawanan. Hidup Ndmembangkitkanari ! Hidup Ndari ! bergema begitu dia selesai berpidato.
Menjalankan pekerjaan organisasi adalah yang utama baginya, segala macam adat istiadat yang mengekang dirinya dia lawan, bahkan bapaknya sendiri. Saat-saat memimpin vergadering merupakan panggilan jiwanya. Ketika dia sedang dirumah bersama sang apak, datang sepucuk surat dari organisasi yang mengatakan bahwa ia harus segera kembali ke Semarang dengan sebelumnya memmpin vergadering lokal di Pemalang, dengan seketika Ndari memenuhi panggilan tugas dan meninggalkan sang bapak tanpa pamit.
Mengenyam pendidikan HBS (Hollandsche Burgerscholen sekolah untuk anak-anak pribumi) di Semarang. Soendari sudah aktivis dalam kegiatan keorganisasian seperti menjadi aktivis Jong Java, Pemalang Bond (sebuah organisasi pelajar Pribumi). Setelah lulus HBS, Soendari menjadi guru di sebuah sekolah swasta di Pemalang dan tidak lama berlangsung dia pindah ke Pacitan tetap menjadi seorang guru pada salah satu sekolah dasar Boedi Moeljo – sekolah yang disubsidi oleh Pemerintah Belanda – Akhornya Soendari dipecat oleh sekolah tersebut karena tekanan Belanda yang tidak suka dengan aktivitas Soendari. Soendari adalah anggota dan juga pengurus VSTP, dia aktif dan ikut membangun cabang-cabang VSTP, terutama di Pacitan dan sekitarnya. Situasi politik pada waktu Soendari mulai terlibat dalam pergerakan memang sedang meninggi, pemogokan terjadi dimana-mana, organisasi perlawanan pribumi tumbuh, pembakaran ladang-ladang tebu, memberikan landasan objektif mendorong kemajuan Soendari.
Banyak peristiwa pemberontakan rakyat dihubung-hubungkan dengan keaktifannya dalam dunia pergerakan. Tanpa sepengetahuan dirinya, pemerintahan Hindia meminta kepada sang bapak untuk meredam aktifitasnya karena dianggap berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan Hindia Belanda.
Adapun cara yang digunakan belanda, dengan meminta kepada snag bapak untuk mengawinkannya, kerena dengan perkawinan dianggap akan mengakhiri aktivitas politik dan organisasi. Tetapi sekali lagi dia menolak perkawinan atas dirinya, meski atas permintaan sang bapak sekalipun.
Soendari dan Koran
dunia tulis menulis telah menjadi minat utamanya. Tulisannya selalu hadir mingguan dalam majalah dinding sekolah. Menguaai bahasa belanda dengan baik adalah modaan-tel agar tulisannya dimuat diterbitan-terbitan Belanda. Selain Belanda, Soendari juga menguasai bahasa Inggris, Jerman dan Perancis.
Tulisan-tulisannya yang menggunakan bahasa melayu sekolahan dengan dengan tajam mengecam pemerintah kolonial, muncul diberbagai terbitan dan dengan cepat menarik perhatian Hindia Belanda, sehingga namanya mulai menjadi bahan pembicaraan, segala aktivitasnya diamati secermatnya oleh pemerintah.
Selamamenjalani masapingitan di Pemalang, tulisan - tulisannya justru semakin banyak muncul dan semakin tajam mengecam Belanda.
Tulisan-tulisan pendahulunya, Kartini, yang telah diterbitkan oleh suami istri abondanon dengan judul Disternis tot licht (sebuah buku berisikan kumpulan surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya yang kemudian diterjemahkan oleh Armin Pane dengan judul Habis Gelap Terbilah Terang) juga kawan – kawan seperjuangannya Tirto Adhi Suryo, (pendiri Medan Prijaji – Koran pertama mingguan di jawa yang menjadi corong dan forum diskusi kaum pribumi yang banyak mengkaji issu menyangkut kesejahteraan pribumi, pendidikan, sosial politik dan kritik terhadap kaum priyayi uang korup dan pemerintahan belanda) dan Mas Marco sangat mempengaruhi pikirannya.
Pertemuannya yang singkat dengan Raden Mas Tirto Adhi Suryo memberikan motivasi yang kuat pada diri Soendari untuk menulis sebanyak–banyaknya bagi perjuangan pembebasan bangsanya.
Soendari juga aktif sebagai penulis tetap di Poetri Hindia (Koran pergerakan perempuan pertama yang dibidani oleh Tirto Adhi Suryo), secara berkala tulisan – tulisannya muncul di koran tersebut. Pada 1913, Siti Soendari mendirikan koran perempuan bernama Wanita Sworo, sebuah koran lokal Pacitan, yang ditulis dengan menggunakan huruf dan bahasa jawa, tapi taklama kemudian menggunakan bahasa melayu.
Siti sondari masihlah sanyat muda ketikamemasuki arena pergerakan. Dia, anak perempuan dari seorang Pegawai Pegadaian Negeri Pemalang. Soendari dibesarkan oleh bapaknya – yang lulusan STOVIA (School Tot Opening Van Inlandsche Arsten sekolah dokter di Batavia dimana kaum priyayi pribumi bisa diterima) dalam lingkungan yang sadar pendidikan. Dia terlahir dengan nama Siti Soendari Ruwiyo Darmobroto, anak terakhir dari dua bersaudara. Ayahnya adalah sahabat dari Tirto Adhi Soryo.
Selayaknya pejuang-pejuang pembebasan nasional yang lainnya, Siti Soendari pun tak lepas dari pengamatan Intelejen Belanda. Ketika sebuah Vergadering tengah diselenggarakan oleh VSTP, saat yang bersamaan terjadi pembakaran ladang-ladang tebu oleh para petani tebu di Pemalang. Pemerintah Belanda tidak tinggal diam. Siti Soendari menjadi tersangka utama pembakaran ledang tebu dan penangkapan atas diri soendari segera diinstruksikan. Ya, dia memang tidak tertangkap pada waktu itu karena diselamatkan oleh anggota VSTP dan bapaknya, kemudian dilarikan ke Belanda.
Siti Soendari seorang pejuang perempuan Indonesia, yang namanya tidak banyak diketahui apalagi perjuangan – perjuangannya. Orde Baru telah menghancurkan sejarah – sejarah perlawanan bangsa ini, termasuk Siti Soendari.
Dia adalah contoh kaum muda pada zamannya yang tidak mau tinggal diam menyaksikan bangsanya ditindas oleh Kolonial Belanda. Dia adalah seorang perempuan muda pemberani yang tampil di muka umum , memimpin sebangsanya untuk melawan Belanda. Dia seorang perempuan melalui tulisan-tulisannya menyerang langsung pemerintah Belanda.
“ Untuk kesekian kali ku akui dia sudah sepenuhnya beremansipasi, dan secara Barat. Ia sudah cerah. Bagiku ia wanita pribumi hasil terindah dari awal zaman modern di Hindia “, (Pramoedya Ananta Toer : Rumah Kaca, hal. 227, penerbit Wira Kraya). *** (majalah Mahrdhika edisi mei 2009)