cerpen HIDUP part 1
Lampu merah, trotoar, pengemis jalanan. Aahh, rindu sekali pada mereka semua. Semenjak kejadian 12 tahun lalu, hampir-hampir tak pernah lagi aku bermandi peluh dan lelah. Keluarga Sastro telah membawaku pada dunia lain yang bisa dianggap taman eden untuk makhluk sepertiku, dan mungkin juga teman-temanku yang dulu. Yah. yang dulu.
Hari itu sejarah kelam. Di pagi buta Kak Damar berlari-larian kesana-kemari mencari kendaraan. tak banyak yang berlalu lalang dan semua sesak dengan sayur-mayur pedagang yang hendak dibawa ke pasar. Wajahnya lesu sedih dan panik menanti kebaikan pengemudi untuk memberhentikan kendaraannya. "Alhamdulillah...ada yang berhenti.." pekiknya pelan melihat sebuah kendaraan berhenti menghiraukan lambaian tangannya.
" Pak, bisa antarkan ibu saya kerumah sakit sekarang..? ibu saya mau melahirkan !" pintanya panik.
" Tapi saya mau jemput orang di pasar, De ! kalau mau ganti uang bensin ya boleh saja." jawab bapak bertopi hijau itu santai.
" memang berapa pak ?"
" yaaah 50 ribu saja, jauh lho rumah sakit bersalin. "
" Pak. tolonglah kali ini saja. kami bukan keluarga mampu. "
Ku lihat kak damar mulai memohon. Ya Tuhan, baru kali ini aku melihat Kak Damar orang yang keras dan tegas memohon-mohon pada seorang sopir angkot.
Ku lihat si sopir melepaskan topi hijaunya yang kumal. gagang topinya sudah terkoyak, benang-benangnyapun sudah tak menyatu lagi.Tak beda dengan pakaianku. Di bawah ketiakku ini sudah robek. warna hitamnya sudah pudar nyaris menjadi abu-abu.
Orang berpostur tinggi kurus berkulit hitam terbakar matahari karena profesinya ini akhirnya mengerutkan keningnya.
"Ayo kalo begitu, cepat..."
rupanya orang yang semakin kupandang semakin terlihat seperti almarhum Bapak ini luluh dengan wajah Kak Damar yang semakin memelas.
wajahnya langsung sumringah, permohonannya diterima.
kami berlari-larian kembali kerumah.
Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba Ibu sudah ada di atas angkot. sejak tadi tak ku perhatikan bagaimana bisa begitu karena aku sibuk menyiapkan kain dan pakaian yang akan di bawa ke rumah sakit. Dua potong baju Ibu dan satu lembar kain batik Ibu.Satu-satunya kain terindah yang dimiliki ibu ini akhirnya harus bersimbah darah juga. bukan karena kain ini masih baru makanya dipandang indah, tapi karena kain inilah satu-satunya peninggalan Almarhum Bapak buat ibu, selain Kak Damar, aku dan calon adik kecilku yang akan lahir entah beberapa menit lagi.
Aku berlari menuju angkot bapak bertopi hijau tadi.
" Chi', kamu gak usah ikut, di rumah sama mas Mad saja ya ! biar mbok ma kak damar saja yang ke rumah sakit. " tangannya mengelus kepalaku sembari mengambil kantong hijau yang ada di tanganku.
" Iya udah gak apa. Tapi nanti kalo mbok sama kak damar gak pulang-pulang gimana?"
" sebentar sore mbok pulang kok. kan mbok belum masak." Aku hanya diam memandangi mbok Mad berlari ke angkot.
Ya Allah,selamatkan Ibu dan adik Uchi ya Allah..Uchi mau mereka makan masakan mbok Mad nanti sore.
Ini doaku..aku bingung harus berdoa bagimana. yang jelas aku hanya mau ibu dab adik selamat.
Akh, membosankan. mas Mad tak datang-datang. Pasti korannya belum habis-habis karena koran yang harusnya ku bawa tadi pagi di bawanya juga.
Ku lihat si sopir melepaskan topi hijaunya yang kumal. gagang topinya sudah terkoyak, benang-benangnyapun sudah tak menyatu lagi.Tak beda dengan pakaianku. Di bawah ketiakku ini sudah robek. warna hitamnya sudah pudar nyaris menjadi abu-abu.
Orang berpostur tinggi kurus berkulit hitam terbakar matahari karena profesinya ini akhirnya mengerutkan keningnya.
"Ayo kalo begitu, cepat..."
rupanya orang yang semakin kupandang semakin terlihat seperti almarhum Bapak ini luluh dengan wajah Kak Damar yang semakin memelas.
wajahnya langsung sumringah, permohonannya diterima.
kami berlari-larian kembali kerumah.
Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba Ibu sudah ada di atas angkot. sejak tadi tak ku perhatikan bagaimana bisa begitu karena aku sibuk menyiapkan kain dan pakaian yang akan di bawa ke rumah sakit. Dua potong baju Ibu dan satu lembar kain batik Ibu.Satu-satunya kain terindah yang dimiliki ibu ini akhirnya harus bersimbah darah juga. bukan karena kain ini masih baru makanya dipandang indah, tapi karena kain inilah satu-satunya peninggalan Almarhum Bapak buat ibu, selain Kak Damar, aku dan calon adik kecilku yang akan lahir entah beberapa menit lagi.
Aku berlari menuju angkot bapak bertopi hijau tadi.
" Chi', kamu gak usah ikut, di rumah sama mas Mad saja ya ! biar mbok ma kak damar saja yang ke rumah sakit. " tangannya mengelus kepalaku sembari mengambil kantong hijau yang ada di tanganku.
" Iya udah gak apa. Tapi nanti kalo mbok sama kak damar gak pulang-pulang gimana?"
" sebentar sore mbok pulang kok. kan mbok belum masak." Aku hanya diam memandangi mbok Mad berlari ke angkot.
Ya Allah,selamatkan Ibu dan adik Uchi ya Allah..Uchi mau mereka makan masakan mbok Mad nanti sore.
Ini doaku..aku bingung harus berdoa bagimana. yang jelas aku hanya mau ibu dab adik selamat.
Akh, membosankan. mas Mad tak datang-datang. Pasti korannya belum habis-habis karena koran yang harusnya ku bawa tadi pagi di bawanya juga.
(bersambung)